Taman Nasional Bali Barat (TNBB) dapat dikonstruksikan sebagai taman nasional mandiri sebagaimana tujuan pembentukan taman nasional model atau TNBB sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Hanya saja ada beberapa kendala TNBB sebagai taman nasional mandiri yaitu sistem anggaran yang tidak memberikan insentif apapun pada pengelolaan keuangan TNBB.
Di sisi lain hasil simulasi dengan menggunakan program Powersim Constructor menunjukkan implementasi model taman nasional mandiri akan membawa dampak yang serius pada biogeofisik kawasan. Berkurangnya luas kawasan hutan yang menyisakan antara 5 ribu-10 ribu hektar dari 19 ribu hektar yang ada saat ini pada tahun 2005 disertai turunnya populasi Jalak Bali menunjukkan tujuan pembentukan TNBB sebagai salah satu taman nasional mandiri masih jauh dari harapan.
“Taman nasional mandiri berdampak pada biogeofisik kawasan. Turunnya populasi jalak menunjukkan tujuan TNBB sebagai taman nasional mandiri belum berhasil,â€papar Iman Suramenggala, S.Hut., M.Sc pada ujian terbuka program doktor Fakultas Kehutanan UGM, Selasa (5/3). Pada ujian ini Iman mempertahankan disertasinya yang berjudul Pengembangan Desain Pengelolaan Kawasan Konservasi Dengan Menggunakan Analisis Sistem Dinamis di Taman Nasional Bali Barat.
Iman menambahkan salah satu pertimbangan penetapan TNBB sebagai taman nasional model yang diharapkan mampu menjadi taman nasional mandiri adalah sub sistem ekowisata. Penelitian yang dilakukannya menunjukkan tidak ada pengaruh sub sistem eko wisata baik pada anggaran TNBB maupun pada perekonomian masyarakat Desa Sumberklampok, yang selama ini sebagai desa penyangga.
“Penduduk lokal tetap mengandalkan sektor agraris sebagai mata pencaharian utamanya padahal tujuan wisata yang ada di TNBB, seperti Labuan Lalang dan Pulau Menjangan masuk wilayah adat Desa Sumberklampok,â€kata staf Dinas Kehutanan, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara tersebut.
Melihat kondisi itu berbagai pertimbangan ekonomi dalam pengelolaan kawasan konservasi, kata Iman, perlu ditinjau kembali. Menurut Iman mengutamakan aspek ekonomi dalam pengelolaan kawasan konservasi hanya akan mengorbankan kepentingan konservasi dan sosial budaya. Enclave ekowisata, tergerusnya budaya dan munculnya konflik pertanahan di Bali disebabkan oleh pembangunan tempat wisata secara tidak terkendali.
“Ekowisata yang punyaa karakteristik konservasi lingkungan dan mendukung perekonomian masyarakat lokal seharusnya dikelola dengan prinsip optimalisasi yaitu membatasi jumlah wisatawan sesuai daya dukung lingkungan dengan pendapatan yang cukup tinggi,â€pungkas Iman yang lulus doktor dengan predikat cum laude tersebut (Humas UGM/Satria AN)