YOGYAKARTA – Sejarah menjadi bagian penting dari perjalanan dari sebuah bangsa. Dengan sejarah, setiap bangsa bisa belajar tentang masa lalu. Lewat sejarah, sebuah bangsa memiliki pijakan kuat meraih masa depannya. Sampai-sampai Presiden Soekarno pernah mengatakan ‘Jangan Pernah Melupakan sejarah’. Tapi apa boleh buat, sejarah kadang bisa diputarbalikkan demi sebuah kepentingan dari mereka yang berkuasa. Namun tetap saja dokumen fakta sejarah yang akan mampu membuktikan fakta sejarah sebenar-benarnya.
Demikian yang mengemuka dalam diskusi peringatan keberhasilan Serangan Oemoem (SO)1 Maret 1949, yang dilaksankan oleh Pusat Studi Pancasila (PSP ) UGM di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM, Selasa (5/3).
Sejarawan UGM, Prof. Dr. Suhartono menjadi nara sumber dalam diskusi tersebut menyampaikan dokumen penting yang ditemukannya yakni tulisan tangan SriSultan Hamengku Buwono IX, dengan Kop Surat di kanan atas “Hamengkoe Boewono, Menteri Negaraâ€. Arsip itu ditemukan Prof Suhartono, di arsip Departemen Luar Negeri Belanda.
“Dokumen tulisan tangan itu ditemukan intel Belanda di Kepatihan, dua lembar bolak balik. Setelah mendengar siaran UNO, Sultan HB IX menyusun ide pokok untuk mengadakan serangan umum. Dalam dokumen itu juga ada perintah untuk menangkap lurah-lurah antek NICA,†kata Suhartono.
Prof Suhartono meyakini setelah membaca dokumen tulisan Sultan HB IX tersebut dia berkesimpulan bahwa ide utama serangan umum berasal dari Sultan. Bahkan dalam dokumen tersebut terdapat foto foto gerobak sapi merupakan alat transportasi saat revolusi dan press conference langsung Sri Sultan dengan wartawan asing yang mengelilingi beliau. “Ide serangan umum dari Kraton. Secara umum ide serangan umum itu amat spesifik dengan intelejen tinggi,†katanya.
Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM ini menerangkan, dalam dokumen kop “SANGAT RAHASIA†dalam bahasa Belanda juga berisi laporan Jenderal Belanda ke Pemerintah Belanda di Den Haag yang menjelaskan bahwa aksi 1 Maret terbukti tindakan permusuhan berasal dari Kraton Yogyakarta. (Humas UGM/Gusti Grehenson)