Terhitung sejak tahun 2004 hingga 2011, peningkatan anggaran pemerintah untuk program pengentasan kemiskinan mencapai 400 persen. Sementara sejak tahun 2004 hingga 2010, angka kemiskinan hanya turun 3,37 persen. Hal itu berarti hanya terjadi penurunan angka kemiskinan 0,56 persen per tahun.
“Ironis, jika penurunan angka kemiskinan masih berlangsung sama hingga tahun 2015, maka perkiraan angka kemiskinan di Indonesia masih 11,08 persen. Angka ini tentu masih jauh dari target pencapaian MDGs sebesar 7,5 persen,†ujar Prof. Dr. Susetiawan, di Sekolah Pascasarjana UGM, Rabu (13/3).
Memaparkan hasil penelitian evaluasi efektivitas program pengentasan kemiskinan di 15 Kabupaten/kota di Indonesia dalam seminar yang digelar PSSAT UGM, Susetiawan memandang perlu meninjau efektivitas program pengentasan kemiskinan di Indonesia. Sebab banyak pihak perlu tahu seberapa besar program pengentasan kemiskinan efektif dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan.
“Seberapa efektif program pengentasan kemiskinan mampu mengangkat kondisi orang miskin menjadi tidak miskin, atau sekurang-kurangnya diatas garis kemiskinan?â€, papar ketua tim peneliti.
Susetiawan menilai, program pengentasan kemiskinan selama ini tidak memberi efek bagi peningkatan kualitas hidup orang miskin. Sementara itu, dana yang dipakai untuk program-program pengentasan kemiskinan berasal dari hutang. “Sungguh tidak etislah kalau cara-cara penanganan kemiskinan dengan hutang. Dana bersumber hutang mestinya diperlukan untuk meningkatkan skala usaha yang ada profitnya,†tambahnya.
Menurutnya sebanyak 300 juta penduduk Indonesia jika mau bersama-sama melakukan tentu tidak terjadi orang miskin. Karena sebenarnya orang miskin yang ada didalam masyarakat selalu dihidupi oleh communitynya. “Oleh karena itu, mana sih sesungguhnya yang mau ditangani oleh negara,†ungkap Susetiawan terheran-heran.
Susetiawan berpendapat penanganan kemiskinan sudah saatnya tidak lagi terpusat, namun terdesentralisasi. Desentralisasi pengentasan kemiskinan tidak hanya di permasalahan implementasi, namun termasuk pula pendataan terhadap orang miskin itu sendiri. “Yang penting bagaimana para pengentas kemiskinan berpikir bagaimana memahami kondisi masyarakat, bukan menjadikan program kemiskinan sebagai sebuah projek,†imbuhnya.
Drs. Muhadi Sugiono, M.A. Selaku Kepala Pusat Studi Sosial Asia Tenggara menyatakan penelitian terhadap efektivitas program penanggulangan kemiskinan berlangsung selama satu tahun, dari pertengahan 2011 hingga pertengahan 2012. Penelitian dengan menggunakan metode survei dan kualitatif dengan melibatkan 3.040 responden yang tersebar di 15 kabupaten/ kota yang menjadi wilayah pendampingan SAPA (strategic Alliance for Poverty Allevation). Ke-15 kabupaten/ kota tersebut meliputi Kota Banda Aceh, Kabupaten serdang Bedagai, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Ciamis, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Subang, kabupaten Kebumen, Kota Surakarta, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Jembrana, Kabupaten Lombok Tengah, Kota Kupang dan Kota Makassar.
Analisis penelitian, kata Muhadi Sugiono, mengkaji setidaknya lima aspek kunci, yaitu profil keluarga miskin, proses implementasi program pengentasan kemiskinan, penggunaan data kemiskinan, dinamika pengentasan kemiskinan di indonesia sejak 2005 – 2010 dan arah rekomendasi program pengentasan kemiskinan kedepan. “Temuan riset memperlihatkan profil keluarga miskin dari sumber BPS tidak menunjuk potret kemiskinan sesungguhnya. Sedagkan kategori kemiskinan, hampir miskin, miskin dan sangat miskin BPS sebagai alat bantu identifikasi tidak cukup efektif dalam mendukung program pengentasan kemiskinan,’ tuturnya. (Humas UGM/ Agung)