Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) Amirudin menegaskan bahwa lahirnya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) di Indonesia tahun 2008 merupakan bagian dari pengakuan atas hak asasi manusia (HAM) serta sebagai upaya mewujudkan masyarakat informasi sekaligus untuk mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan badan publik lainnya.
Berbeda dengan Indonesia, Amerika menggunakan istilah kebebasan informasi (freedom of information act-FOIA) bagi keterbukaan akses informasi sebagai bagian dari proses demokrasinya selama kurun 50 tahun. Hal ini ditegaskan oleh Amirudin pada diskusi Freedom of Information di R. Multimedia Layanan American Corner Perpustakaan UGM, Kamis (14/3). Pembicara diskusi tersebut dihadirkan dengan memanfaatkan teknologi Digital Video Conference di hadapan pustakawan dan mahasiswa Ilmu Perpustakaan Yogyakarta.
“Undang-undang ini sebagai wujud pengakuan atas HAM,â€papar Amirudin.
Ia menjelaskan FOIA Library selalu tersedia di semua laman badan publik milik pemerintah yang menyediakan informasi bagi masyarakat umum. Mereka senantiasa memperbaharui dokumen yang layak dijadikan sebagai informasi proaktif yaitu informasi yang wajib disediakan oleh badan publik tanpa diminta dan informasi pasif, yaitu informasi yang dapat diberikan dengan permintaan.
“Tentu disini ada pengecualian-pengecualian yang didasarkan pada kepentingan lembaga dan interpretasi lembaga publik tersebut,â€imbuhnya.
Beberapa peserta diskusi pun memberikan respon seperti terkait sengketa informasi dan tarif informasi. Hafiz, Direktur American Corner Universitas Sumatera Utara, misalnya, menilai kelemahan pendokumentasian produk hukum dan administrasi lembaga publik.
Sementara itu Nur Cahyati, Ketua American Corner UGM, melihat kurangnya pendidikan informasi bagi masyarakat sehingga masyarakat Indonesia belum sadar atas hak akses informasi sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Menanggapi hal tersebut, Amirudin menyatakan bahwa pada tiga tahun awal pelaksanaan UU No. 14/2008 ini diterapkan, kurang dari 50 lembaga yang sudah memenuhi ketentuan tersebut. Namun, saat ini sudah mencapai angka lebih dari 50 lembaga publik yang merealisasikan keterbukaan informasi minimal dalam 3 bagian yaitu penyediaan profil lembaga, laporan kegiatan, dan laporan keuangan.
“Sudah menjadi tanggung jawab semua pihak, baik itu pemerintah dan lembaga publik yang bersangkutan untuk menyiapkan diri sendiri dan masyarakat agar melek informasi dan melek hak atas akses informasi,â€terang Amirudin.
Kepala Perpustakaan UGM, Dra. Nawang Purwanti, M.Lib yang hadir dalam diskusi tersebut mengatakan adanya proses persiapan yang juga tengah berlangsung di UGM, khususnya pada masa transisi menjadi bagian dari badan layanan publik. UGM, kata Nawang, sedang menyusun dokumen tentang akses informasi yang proaktif dan pasif, berikut pengecualiannya, dalam rangka uji konsekuensi yang akan dibuat oleh UGM.
“Perpustakaan sebagai bagian dari UGM sedang diminta oleh pihak universitas untuk menyampaikan informasi yang dikecualikan terkait akses informasi,â€tutur Nawang.
Langkah ini diharapkan dapat menjadi langkah awal implementasi undang-undang tersebut di lingkungan Perpustakaan UGM sebagai upaya mewujudkan masyarakat informasi yang sadar atas hak asasinya (Humas UGM/Satria AN)