Kawasan perbukitan-pegunungan Kulonprogo, khususnya wilayah Kecamatan Kokap, Girimulyo dan sebagian Pengasih merupakan wilayah yang rentan terhadap ancaman erosi dan longsor. Erosi seperti halnya longsoran merupakan proses geomorfologi yang terjadi pada daerah-daerah yang terletak pada topografi berbukit-bergunung. Kawasan perbukitan-pegunungan Kulonprogo memiliki berbagai permasalahan yang berkaitan dengan perannya dalam mendukung fungsi keseimbangan ekologis dan ekonomi bagi masyarakat setempat. Berubahnya fungsi-fungsi ekologis, benturan pemanfaatan lahan semakin tampak nyata antara kepentingan konservasi dan kepentingan ekonomi semata.
“Akibatnya, tingkat kerentanan wilayah perbukitan-pegunungan Kulonprogo relatif tinggi, baik dari sisi geobiofisik lahan, sisi sosioekonomi maupun sisi sosiobudaya. Ini kita lihat dengan metode RApALU (Rapid Appraisal for Agricultural Land Utilization,â€papar Drs. Juhadi, M.Si pada sidang ujian terbuka program pascasarjana Fakultas Geografi, Sabtu (16/3).
Pada kesempatan tersebut Juhadi mempertahankan disertasinya yang berjudul Dimensi Spasio Ekologikal Pemanfaatan Lahan Perbukitan-Pegunungan di Kecamatan Kokap, Girimulyo dan Pengasih Kabupaten Kulonprogo DIY.
Juhadi menjelaskan dari penelitiannya terlihat pola spasial pemanfaatan lahan kebun campuran tersebar pada sebagian besar wilayah penelitian; ladang/tegalan tersebar di antara kebun dan permukiman; sawah tersebar di lembah-lembah dan dataran kiri-kanan sungai.
Menurut Juhadi proses perkembangan pemanfaatan kebun campuran relatif konstan dari tiga titik tahun yang diteliti; terdapat kecenderungan penurunan luas sawah irigasi dan kenaikan luas pada sawah tadah hujan dan semak/belukar.
“Pemanfaatan lahan belukar/semak menunjukkan kecenderungan spasial adanya penambahan luas sekalipun masih relatif kecil,â€kata staf pengajar Jurusan Geografi FIS UNNES tersebut.
Ia menambahkan pemanfaatan lahan berkelanjutan pada kawasan perbukitan-pegunungan Kulonprogo, dapat dibuktikan dari beberapa simpulan fenomena lahan yang berbasis dengan kearifan lokal, yaitu masyarakat di kawasan perbukitan-pegunungan Kulonprogo memiliki kebiasaan turun-temurun dalam pengelolaan lahan pertanian dengan menggunakan prinsip dasar model pengelolaan lahan ‘patah tumbuh hilang berganti’.
Juhadi menegaskan upaya mempertahankan keberlanjutan pemanfaatan lahan untuk pertanian pada wilayah perbukitan-pegunungan Kulonprogo diperlukan upaya dari berbagai pihak (pemerintah, swasta, masyarakat setempat) untuk membuka peluang atau pengembangan sektor nonpertanian.
“Sayangnya, pengembangan kelembagaan keuangan lokal untuk mendukung unit-unit usaha kecil dan menengah yang berkembang di sana belum mendapat perhatian secara maksimal dari pemangku kepentingan,â€tutur pria kelahiran Kudus, 3 Januari 1958 itu.
Hasil penelitian Juhadi juga menunjukkan bahwa wilayah penelitian tersebut memiliki tingkat kerentanan geofisik lahan yang tinggi dan terjadi pada hampir semua satuan bentuklahan. Untuk itu perlu dukungan dan penguatan pranata-pranata berbasis konservasi lahan dari kelembagaan lokal yang selama ini telah berjalan sehingga kegiatan eksploitasi dapat diimbangi dengan kegiatan konservasi sehingga dapat mengurangi dampak penurunan kualitas sumberdaya lahan dalam jangka panjang (Humas UGM/Satria AN)