YOGYAKARTA – Fakultas Pertanian UGM mendesak pemerintah untuk turun tangan dalam mengendalikan harga pangan holtikultura agar tidak memberatkan konsumen namun juga tidak melemahkan petani. Pasalnya kenaikan harga bawang yang meroket belakangan ini tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan petani namun lebih menguntungkan para importir dan pedagang.
Dekan Fakultas Pertanian UGM sekaligus peneliti sosial ekonomi pertanian, Dr. Jamhari, SP., MP.,mengatakan kenaikan harga bawang disebabkan menurunnya produksi bawang dalam negeri karena petani menunda menanam bawang saat memasuki musim penghujan, sedangkan distribusi bawang impor dari pelabuhan ke konsumen mandeg. “Lonjakan harga karena terkait distribusi. Saat ini produksinya rendah karena musim hujan. Biasanya pemerintah melakukan impor setiap awal tahun. Tapi kita lihat berton-ton bawang mandeg di pelabuhan. Aliran dari pelabuhan ke titik konsumsi tehambat,†kata Jamhari kepada wartawan, Kamis (21/3).
Menurut Jamhari, terhambatnya distribusinya ditenggarai adanya permainan kartel antar importir pasca pemerintah membatasi kuota impor holtikultura sejak satu tahun yang lalu. Pemerintah membatasi pintu masuk barang holtikultura hanya lewat tiga pelabuhan, Tanjung Perak, Belawan dan Makassar. “Dengan dibatasi tiga pintu masuk tentu transportasi jadi makin jauh. Aliran barang dari pelabuhan ke masyarakat terhambat,†katanya.
Meski mendukung tujuan awal pemerintah bahwa pembatasan impor holtikultura dalam rangka melindungi petani, namun dirinya mengusulkan agar pemerintah segera turun tangan apabila terjadi hilangnya komoditas pangan di masyarakat. Tapi juga pemerintah diminta untuk turun tangan apabila harga bawang saat panen jatuh. “Sekitar 88 persen petani menjual secara borongan semua hasil panen mereka di tempat. Mereka butuh uang untuk mencukupi kebutuhan, dampaknya semua harga jatuh,†ungkapnya.
Dikatakan Jamhari seharusnya petani tidak harus menjual sekaligus hasil panen mereka. Namun persoalan lain, petani juga tidak memiliki gudang yang layak untuk menyimpan bawang mereka bisa bertahan lama. Akibatnya, petani sering menghadapi risiko saat harga jatuh. “Pemerintah harus buat gudang agar petani bisa tunda jual atau pemerintah membeli hasil panen mereka. Petani juga selayaknya mendapat pinjaman lunak selama hasil panen mereka masih disimpan di gudang,†katanya.
Peneliti bawang dari Fakultas Pertanian UGM, Dr. Ir. Endang Sulistyaningsih, M.Sc., menyebutkan ada sekitar 20-an jenis varietas bawang lokal yang ditanam petani. Rata-rata produksinya mencapai 8-12 ton per hektar. Dari hasil penelitiannya, kenaikan produksi dari perluasan lahan yang dihasilkan per satuan lahan cenderung ajeg bahkan turun. Turunnya produktivitas tersebut menurutnya karena petani umumnya menanam bawang di lahan marginal dan lahan pasir. Menanam bawang di lahan pasir, menyebabkan ukuran umbil yang dihasilkan lebih kecil dibanding ditanam di lahan sawah. “Bawang Tiron dari dulunya 20 ton per hektar sekarang jadi 12 ton,†katanya
Selain itu, petani lebih menyukai menanam bawang lewat umbi dibanding biji. Padahal menanam biji bisa menghasilkan tanaman yang lebih kuat dari serangan hama penyakit serta kualitas bawang yang lebih baik. (Humas UGM/Gusti Grehenson)