Menyusul penetapan premi bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI) dalam Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) sebesar 15.500 rupiah per bulan dan telah disosialisasikan dalam rapat koordinasi Kementerian Koordinator Kesejahteraan Masyarakat pada har Rabu (20/3), mengundang pertanyaan di kalangan publik: cukupkah Rp. 15.500 bagi layanan kesehatan yang berkualitas dan aman bagi peserta Jamkesmas? Pertanyaan tersebut bergulir di kalangan masyarakat, pemangku kepentingan serta pemerhati masalah kebijakan kesehatan di Indonesia. Tak terkecuali perhatian dari para peneliti Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KPMAK) Fakultas Kedokteran UGM untuk melakukan analisis penghitungan pembiayaan. Mereka adalah dr. Muttaqien,MPH, dr.Firdaus Hafidz, dr.Rizki Tsalathita dan Febtiana Tia Pika dr. Zainal Muttaqien, salah satu peneliti menyatakan pada prinsip, kebijakan tersebut penting untuk tetap memenuhi ketentuan pelayanan kesehatan dalam era BPJS Kesehatan kedepan. “Pelayanan kesehatan mestinya tetap bermutu, aman bagi pasien, efektif dalam tindakan, kesesuaian dengan kebutuhan pasien, serta dengan biaya yang efisien,â€katanya di Fakultas Kedokteran UGM, Senin (25/3). Hasil olah data Jamkesmas tahun 2009 – 2011 oleh Pusat KPMAK Fakultas Kedokteran UGM memperlihatkan meski program Jamkesmas sangat bermanfaat untuk masyarakat miskin, akan tetapi utilisasi penggunaan program Jamkesmas selama ini tergolong rendah. Rendahnya utilisasi ini dikarenakan kendala akses ke pelayanan kesehatan, persepsi tentang sakit di mana masih terdapat peserta Jamkesmas yang lebih memilih melakukan pengobatan sendiri (alternatif). Juga persepsi masyarakat terhadap rendahnya mutu pelayanan puskesmas di mana masih banyak puskesmas tanpa dokter, peralatan yang tidak lengkap, pengobatan yang dilakukan hanya ala kadarnya dan waktu tunggu yang lama. “Selain itu pengetahuan peserta terbatas tentang prosedur dan manfaat Jamkesmas menjadi salah satu penyebab rendahnya utilisasi Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP) program Jamkesmas,â€terangnya. Sedangkan simulasi berdasar data penggunan Jamkesmas tahun 2009 – 2012, menunjukkan prediksi biaya dengan mempertimbangkan kenaikan rerata tarif INA-CBG sebesar 30% tahun 2012 dan Prediksi biaya dengan mempertimbangkan kenaikan rerata tarif INA-CBG sebesar 30% tahun 2012 dan premi sebesar 7000 rupiah per orang per bulan, maka penetapan premi oleh Pemerintah sebesar Rp. 15.500 sebenanya sangat cukup untuk menjalankan program PBI dengan menaikkan kapitasi bagi pelayanan primer dan kenaikan INA-DRG sebesar 30%. “Ini berarti bisa menambahkan kesejahteraan bagi dokter umum yang selama ini mengeluhkan rendahnya kesejahteraan yang didapatkan,†imbuh Muttaqien. Untuk itu, KPMAK FK UGM memberikan rekomendasi guna meningkatkan utilisasi pengguna PBI ke depan, maka BPJS Kesehatan harus meningkatkan mutu pelayanan yang lebih baik, terutama pada pelayanan primer, sehingga bisa mengurangi peserta mendatangi RS, karena akan berakibat membengkaknya biaya. Kementerian Kesehatan dan PT. Askes harus segera berkoordinasi lebih intensif dan fokus untuk perpindahaan Program Jamkeskas Ke PBI di era BPJS Kesehatan. Banyak persoalan yang harus diselesaikan terkait perpindahan ini. Terutama terkait pengelolaan kepesertaan. Agar premi Rp. 15.500 yang tersedia cukup, PT. Askes juga harus segera berkoordinasi dengan pemerintah daerah terkait pelibatan daerah dalam program PBI. Karena selama ini, Jamkesmas bisa melaksanakan program Jamkesmas daerah dengan melibatkan pemerintah daerah. Muttaqien mengakui kebijakan ini tentu tidak memberikan kepuasan pada semua pihak. Para dokter tentu akan memepertanyakan keputusan premi ini lebih tajam, karena masih berbeda dengan harapan mereka selama ini. “Namun, untuk program awal, maka seluruh kelompok masyarakat harus mengawal program ini agar dapat tercapai secara efektif, aman, sesuai kebutuhan pasien, serta efisien,â€pungkasnya. (Humas UGM/ Agung)