Fenomena pernikahan dini disinyalir menjadi salah satu penyebab naiknya jumlah penduduk di Indonesia yang tidak terkendali. Meski terhitung masih rendah, hasil survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menjadi pukulan berat pemerintah.
Data survei SDKI memperlihatkan tingkat kelahiran (TFR) nasional meningkat dari 2,41 menjadi 2,6, sedangkan di Yogyakarta menunjukkan peningkatan dari 1,93 menjadi 2,1. “Harus diakui pasca reformasi, bidang kependudukan kurang mendapat perhatian. Hal ini tentu menjadi beban pemerintah, sebab meski kenaikan tersebut nol koma implikasinya pada jutaan orang,†ujar Dr. Agus Heruanto Hadna, di Aditorium Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Rabu (27/3).
Agus Hadna memaparkan sebanyak 5,4 persen remaja pernah melakukan hubungan seks pranikah, dan sebanyak 11,2 hubungan pranikah tersebut berakhir dengan kehamilan. Sementara peran BKKBN untuk mensosialisasikan mengembangkan keluarga kecil semenjak tahun 2000 dinilai gagal.
Dikatakannya, tugas pengendalian penduduk yang mestinya dilakukan BKKBN , dilakukan pula oleh lembaga lain. Sehingga program kependudukan bukan lagi menjadi program utama namun menjadi program bayangan. “Kondisi inilah yang menyebabkan remaja tidak mengenal alat kontrasepsi, dan moto dua anak lebih kadang diplesetkan dan kini telah diganti dua anak cukup,†papar Kepala PSKK UGM.
Dalam seminar yang membicarakan isu-isu kependudukan terkini yang diselenggarakan PSKK UGM, Agus Hadna berpendapat arus migrasi turut menjadi pemicu naiknya pertambahan penduduk tidak terkendali di Yogyakarta. Mereka adalah penduduk usia 15-49 tahun yang melakukan migrasi keluar, namun data hasil kelahiran masih ditinggal di daerah asal sehingga meningkatkan TFR. “Angka tersebut dihitung berdasar jumlah anak lahir per wanita usia 15-49 tahun dan jumlah migran yang masuk ke Yogyakarta sebesar 16 persen,†katanya.
Terkait unmet need atau kebutuhan kontrasepsi, Agus mengakui kebutuhan tersebut tidak terpenuhi. Di tahun 2007 kebutuhan tersebut masih sebesar 8,5 persen meningkat menjadi 9,1 persen ditahun 2012.
“Belum lagi kini muncul kelompok-kelompok pro-natalis. Sehingga terlalu berat untuk menurunkan, Cina dulu belajar pada kita sekarang malah berbalik. Solusi mestinya kembalikan bidang kependudukan dengan program KB sebagai salah satu kebijakan pembangunan nasional,†imbuhnya. (Humas UGM/ Agung)