Belum lama masyarakat Indonesia dikejutkan dengan peristiwa kerusuhan pembakaran sejumlah gedung publik di Kota Palopo, Sulawesi Selatan oleh massa usai pemilukada. Lalu, disusul dengan penyerangan oleh kelompok tak dikenal di Lapas Cebongan, Sleman. Deretan tindak kerusuhan yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini tentunya menimbulkan keresahan di masyarakat.
Kepala Pusat Studi Kebudayan, Dr. Aprinus Salam, M.Hum, mengatakan bahwa berbagai berbagai bentuk kekerasan dan konflik yang terjadi belakangan ini merupakan akibat dari minimnya budaya empati di masyarakat Indonesia. Rendahnya empati ini menurut Aprinus dikarenakan akar kultural Indonesia tidak dilandasi dengan akar kultural yang mapan.
Kebanyakan orang tidak lagi mau mencoba untuk memahami perasaan dan memposisikan diri di posisi orang lain. “Tindak kekerasan terjadi dimana-mana. Hal ini terjadi karena kultur empati masyarakat kita sekarang ini sudah hampir sirna,†tandasnya, dalam bincang-bincang dengan wartawan di Pusat Studi Kebudayaan UGM, Rabu (3/4).
Aprinus mencontohkan saat ini masih saja berkembang sejumlah pernyataan-peryataan yang banyak digunakan masyarakat yang bersifat diskriminatif. Misalnya mengejek orang lain seperti pembantu ataupun pekerjaan kasar lainnya . Padahal dengan pernyataan-pernyataan tersebut justru membangun dan memperbesar perbedaan antar individu. Karenanya hal tersebut harus diminimalisir agar kondisi di masyarakat tetap kondusif.
“Misalnya saja pendatang, masyarakat pendatang masih dianggap berbeda bukan bagian dari masyarakat tersebut. Padahal kalau dilihat kebanyakan adalah masyarakat pendatang,bukan warga asli, hanya baru saja atau sudah lama menetap di tempat itu. Hal semacam ini justru memicu timbulnya prasangka-prasangka yang tidak baik dan tentunya tidak membangun kultur empati,†urai Aprinus.
Pusat Studi Kebudayaan UGM, dikatakan Aprinus berupay amengambil sejumlah langkah taktis dan strategis untuk ikut membangun suasana yang lebih kondusif agar kebudayaan bisa diklarifikasi untuk menjawab berbagai persoalan tersebut melalui kegiatan yang bersifat akademis. Beberapa diantaranya adalah dengan menyelenggarakan lomba penulisan karya ilmiah nasional berjudul “Perspektif Kebudyaan dalam Menjawab Persoalan Bangsaâ€, pelatihan analisis budaya, dan diskusi dua bulanan. Selain itu juga akan diadakan seminar dan sarasehan kebangkitan kebudayaan Indonesia (22/5) di UC UGM, Seminar Budaya Pengobatan Tradisional (Juni), serta refleksi budaya akhir tahun. (Humas UGM/Ika)