Tsunami yang melanda Jepang 11 Maret 2011 memang telah lama berlalu. Kendati begitu, pemerintah dan masyarakat Jepang masih terus berbenah untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik. Rekonstruksi pasca bencana dilakukan dengan belajar dari peristiwa tsunami yang pernah dialami sebelumnya.
Hal tersebut disampaikan oleh Prof. Hiroshi Naito, Universitas Tokyo, Jepang dalam kuliah umum “Disaster & Reconstruction: The Change of Japan From The Prespective of Architect†di Fakultas Teknik UGM. Dalam kegiatan yang berlangsung Rabu (10/4) diikuti setidaknya 200 mahasiswa Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik UGM.
Hiroshi mengatakan selama ini masyarakat dunia memandang Jepang adalah negara yang memiliki teknologi canggih sehingga mampu untuk mengatisipasi berbagai bencana yang mungkin terjadi. Namun, dituturkan Hiroshi pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar. Jepang hingga saat ini tidak memiliki teknologi yang bisa untuk mengatasi bencana. Hanya saja yang diupayakan adalah meminimalisir jatuhnya korban dan kerusakan yang ditimbulkan.
“Banyak yang berpikir kalau Jepang punya teknologi canggih untuk atasi bencana, tetapi teknologi secanggih apapun yang dikembangkan tetap saja tidak bisa dipakai untuk menolak datangnya bencana,†jelasnya saat membagi pengalaman rekonstruksi Jepang di Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan FT UGM.
Melihat kejadian tsunami di tahun 1896, Hiroshi memprediksi akan terjadi gempa bumi dan tsunami kembali pada 30 tahun kedepan dengan kekuatan yang lebih besar dengan ketinggian gelombang hingga 40 meter. Bahkan, akan lebih besar dari tsunami yang terjadi di Banda Aceh 2004 yang juga diperkirakan akan menelan korban jiwa dua kali jauh lebih besar.
Sementara untuk mengurangi banyaknya korban akibat bencana, pemerintah Jepang berupaya mengarahkan warganya untuk tinggal di daerah yang jauh dari zona tsunami. Selain itu juga dengan meninggikan bangunan tempat tinggal pada daerah yang terpapar tsunami. “ Belajar dari pengalaman tsunami di masa lalu, sebaiknya dalam mendirikan bangunan dilakukan diatas ketinggian gelombang tsunami tertinggi yang pernah terjadi sebelumnya,†ujar Hiroshi.
Pada kesempatan itu Hirosi turut menyampaikan bahwa dalam proses rekonstruksi di Jepang tidak mengalami kemajuan yang berarti. Pasalnya, program yang dijalankan tidak terintegrasi antar sektor. Yang terjadi, setiap institusi pemerintah memiliki gagasan dan perencanaan masing-masing terkait rekonstruksi yang akan dilaksanakan.
Misalnya antara arsitek, ahli teknik sipil, maupun ahli perencanaan kota masing-masing mempunyai pemikiran bagaiman merekonstruksi Jepang pasca tsunami. Sementara ide-ide yang ada tidak bisa dipahami oleh pihak lain dan hanya dimengerti oleh alangan sendiri sehingga sulit untuk dijalankan secara berama-sama. “Dalam melakukan rekonstruksi masih terkotak-kotak, belum ada integrasi antar sektor sehingga rekonstruksi tidak berjalan dengan baik,†terangnya.
Menurutnya, agar pelaksanaan rekonstruksi bencana bisa berjalan dengan baik harus ada integrasi antar sektor atau institusi dalam menjalankan program-program yang telah direncanakan. Hal tersebut diharapkan dapat mendorong terwujudnya kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat korban bencana di masa yang akan datang. (Humas UGM/Ika)