Kekeringan dalam jangka panjang menjadikan krisis air semakin meningkat. Kondisi ini tidak hanya terjadi di wilayah Indonesia timur saja, tetapi juga di berbagai daerah Indonesia lainnya terutama saat musim kemarau tiba, termasuk di daerah dataran tinggi. Salah satunya seperti yang terjadi di Dusun Ngoho, Desa Kemitir, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Ketika musim kemarau tiba, sumur-sumur warga dusun terluar dari Kabupaten Semarang yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Temanggung ini dapat dipastikan tidak mengeluarkan air, bahkan mengering. Sementara dari hasil penelitian yang pernah dilakukan Badan Geologi Jawa Tengah, untuk mengatasi kekeringan dengan membuat sumur artesis sedalam 200 meter. Sayangnya, hal tersebut tidak membuahkan hasil sehingga masyarakat masih harus bersusah payah mendapatkan mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun pertanian.
Sementara disisi lain, Dusun Ngoho yang berada di dataran tinggi Ungaran ini memiliki potensi kabut yang cukup tinggi yang sebenarnya bisa digunakan untuk mengurangi krisis air di wilayah tersebut. Kabut hampir setiap harinya muncul meskipun di saat kemarau. Hanya saja potensi yang ada belum dimanfaatkan karena kendala teknologi.
Melihat kenyataan tersebut, sejumlah mahasiswa Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan UGM yang terdiri dari Aditya Riski Taufani, Puji Utomo, Taufiq Ilham Maulana, dan Musofa tergerak untuk membantu mengatasi masalah krisis air yang melanda warga Dusun Ngoho dengan menerapkan teknologi pemanen kabut.
Teknologi yang diterapkan dapat digunakan untuk menangkap dan mengumpulkan air dalam kabut sehingga bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. “Melalui teknologi ini diharapkan dapat mengatasi kekeringan di musim kemarau yang terjadi di Dusun Ngoho,†kata Aditya, ketua tim pengembang pemanen kabut di Kampus UGM, Kamis (11/4).
Pengembangan teknologi pemanen kabut lahir dari Progam Kreatifitas Mahasiswa (PKM) bidang Penelitian 2013 yang didanai oleh Dikti. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Fatchan Nurrochmad, M.Agr., mereka pun memulai mengembangkan teknologi pemanen kabut sejak bulan Februari lalu.
Aditya menuturkan teknologi pemanen kabut yang dikembangkan sangat sederhana. Hanya berbentuk jaring dari poliprofilen berbahan palastik yang ditopang dengan dua tiang penyangga. Alat pemanen kabut ini bekerja secara manual sebagi penjerat atau penangkap kabut. Kabut di udara yang tertangkap jaring kemudian dialirkan melalui paralon yang selanjutnya ditampung dalam jerigen. “ Alat yang kami kembangkan ini cukup sederhana dan sangat ekonomis sehingga sangat memungkinkan diproduksi masyarakat secara massal,†ujarnya.
Ditambahkan Puji Utomo, dari hasil penelitian yang dilakukan sejak Februari silam, dari 1 buah instalasi pemanen kabut bisa diperoleh seitar 1,5 hingga 3 liter air setiap harinya. Sementara sampai saat ini Puji dan kawan-kawan baru memasang dua instalasi pemanen kabut sebagai pilot project untuk menentukan seberapa besar debit air yang bisa dikumpulkan setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Kendati begitu, ia tetap optimis kedepan jika sudah banyak terpasang instalasi pemanen kabut, air yang didapat bisa dipakai untuk mencukupi kebutuhan warga setempat. “Kami optimis teknologi ini akan menuai keberhasilan unutk mengumpulkan air dari kabut dalam jumlah besar sehingga diharapkan tidak ada lagi kasus kekeringan di dusun Ngoho ini dan juga bisa menjadi alternatif penyelesaian masalah kekeringan di wilayah Indonesia lainnya,â€terangnya.
Kedepan, empat sekawan ini berencana mengembangkan teknologi pemanen kabut dengan menggunakan mesin. Mesin dimanfaatkan untuk menyedot kabat yang ada sehingga diharapkan bisa dapat mengumpulkan kabut dalam jumlah yang lebih besar, tidak seperti saat menangkap kabut secara manual. “Kedepan kami berencana menggunakan mesin untuk menyedot kabut sehingga tidak lagi tergantung pada kabut yang lewat jaring saja,†jelas Puji. (Humas UGM/Ika)