Tahukah Anda, jika dibalik keindahan dan kecantikan batik, industri batik ternyata menghasilkan dampak negatif berupa limbah yang merusak lingkungan? Limbah tersebut terutama berasal dari proses pewarnaan batik yang masih menggunakan pewarna sintesis naptol, remasol, indigosol, dan sejenisnya. Bahan pewarna kimia pada batik tersebut tergolong tidak ramah lingkungan. Apabila limbah-limbah mengalir ke dalam tanah, bahan-bahan tersebut tentu merusak ekosistem tanah. Pasalnya, bakteri tanah tidak mampu mendegradasi bahan-bahan kimia.
Bahan-bahan yang bersifat karsinogenik pun jika masuk ke dalam tubuh bisa membahayakan kesehatan manusia. Disamping berbahaya bagi manusia, bahan pewarna naptol dan indigisol bisa mengakibatkan organisme dalam air akan mati. Hal itu disebabkan bahan pewarna tersebut dapat mengubah nilai biochemical oxygen demand (BOD) dan chemical oxygen demand (COD) dalam air. Kandungan oksigen (O2) yang notabene diperlukan organisme air akan menurun jika limbah pewarna masuk ke air.
Adalah Dr. Edia Rahayuningsih, pengajar pada Jurusan Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada yang peduli permasalahan ini. Ia mengungkapkan meski bahan naptol telah dilarang digunakan sejak 1996, para perajin batik masih terus menggunakan pewarna tersebut lantaran murah, praktis, dan lebih cerah.
“Tapi, agar hasil pembuatan batik tidak terlalu mencemari lingkungan dan membahayakan manusia, bahan pewarna sintetis itu mestinya harus diganti dengan pewarna dari alam. Karena di Indonesia terdapat bahan pewarna alternatif yang lebih aman dan tahan lama berasal dari tanaman indigoferaâ€, katanya di Kampus UGM, Rabu (17/4).
Sebagai dosen dan peneliti, Edia Rahayuningsih sudah lama meneliti tanaman indigofera sebagai bahan pewarna pengganti naptol. Ia tahu sudah sejak lama tanaman indigofera terkenal sebagai pewarna indigo. Hasil penelitian yang ia lakukan menunjukkan marga indigofera bisa digunakan sebagai pengganti warna biru pada pewarna non-alami.
“Zat warna pada indigofera yang berupa serbuk dan diberi nama Gama Blue ND (Gadjah Mada Blue Natural Dye) itu bisa dihasilkan melalui teknik modern. Selain penggunaannya praktis, zat warna yang dihasilkan tanaman indigofera lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan zat warna yang diproduksi dengan cara-cara tradisionalâ€, imbuhnya.
Kata Edia, warna biru dari serbuk yang dihasilkan memiliki kadar hingga 40 persen, sementara warna biru dari proses biasa kadarnya hanya 15 persen. Apabila untuk mendapatkan warna dengan kecerahan sama, pewarna indigofera dari proses tradisional memerlukan 30 sampai 40 kali pencelupan, dengan proses yang dikembangkan Edia, hanya memerlukan 3 sampai 6 kali pencelupan. “Tentu saja, bagi para perajin batik, efisiensi proses ini tentu cukup berarti,†katanya.
Meski telah mengajak perajin batik kembali menggunakan pewarna alami, Edia mengakui bila harga pewarna alami masih tergolong mahal dibanding pewarna sintetis. Karena rendemen daun indigofera terbilang kecil, dari 250 kilogram daun basah yang diproses, hanya diperoleh 1 kilogram serbuk warna atau 0,4 persen.
Sehingga, tidak heran apabila harga pewarna alami menjadi tinggi atau berkisar 750 ribu rupiah per kilogramnya. Keuntungan para perajin pun lebih sedikit jika harus menggunakan pewarna dari tanaman indigofera. Sebaliknya perajin akan mendapat untung banyak bila mereka menggunakan pewarna naptol yang harganya hanya sekitar 50 ribu rupiah per kilogram.
“Dari segi harga, bahan pewarna alami tidak dapat bersaing. Namun, dari sisi kualitas, warna alami indigo lebih lembut dan tahan lama. Bagaimanapun hasil pewarnaan bahan sintetis lebih tajam, berbeda halnya dengan warna alami yang terlihat lembut, tetapi dari segi pamor secara keseluruhan warna alami jelas lebih cantik,†aku Edia.
Perempuan yang banyak meneliti tentang pencemaran inipun terus berharap agar semakin banyak petani menanam indigofera guna menekan harga. Karena itu, ia ia tak henti-henti melakukan sosialisasi dimana-mana. Sebagai hasilnya, kini telah banyak petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta dan daerah lain bersedia menanam Indigofera karena mereka tahu besarnya keuntungan yang bisa diperoleh. (Humas UGM/ Agung)