Perempuan dalam realitas sosial sering menjadi subordinat, termasuk di dalam teks cerita. Subordinasi tersebut selalu muncul dalam berbagai teks cerita. Namun didalamnya selalu diceritakan adanya resistensi dan pemberontakan perempuan seperti yang terjadi dalam cerita anak tradisional Jawa Tengah.
“Pada cerita anak tradisional di Jawa Tengah banyak muncul resistensi perempuan,†kata Drs. Harjito, M.Hum., Rabu (17/4) saat melaksanakan ujian terbuka Program Doktor di Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Harjito mengungkapkan kebanyakan cerita anak tradisional di Jawa Tengah terdapat resistensi perempuan yang dipengaruhi gender, kelas sosial, usia dan etnisitas. Namun demikian yang ada di cerita anak tradisional Jawa Tengah bukanlah pengiburumahtanggaan. Meskipun tatanan pikiran perempuan Jawa di dalam cerita anak tradisional adalah jodoh, anak, dan penguas, tetapi bukan perempuan yang melawan kapitalisme atau yang dimanfaatkan sebagai perangkat pembangunan atau modernisasi.
Mempertahankan disertasi berjudul “Resistensi dan Tatanan PikiranPerempuan Dalam Cerita Anak Tradisional Jawa Tengahâ€, Harjito menyampaikan dalam cerita anak tradisional Jawa Tengah, konstruksi dan tatanan pikiran yang ditanamkan kepada perempuan adalah bagaimana menjadi isteri yang patuh pada suami. Konstruksi tersebut sengaja diciptakan kelas sosial atas untuk menjaga dan meningkatkan kelas sosialnya. Langkah yang ditempuh dengan menggunakan prinsip memberikan hadiah bagi yang patuh, sedangkan bagi yang melawan diberikan hukuman, bahkan dibinasakan. Misalnya pada kisah Dewi Siti Kholifah yang dibinaskan karena melawan kelas sosial atas, begitu juga yang terjadi pada Roro Mendut. Lain halnya pada cerita Nyi Dipo, Mbah Kendil, Nyai Widuri yang diberikan hadiah berupa harta maupun kekuasaan karena dianggap telah membantu kelas sosial atas.
Dosen IKIP PGRI Semarang ini menambahkan resistensi perempuan dalam cerita anak tradisional juga tidak bisa terlepas dari peran laki-laki. Hal ini ditunjukkan melalui adanya pertolongan atau bantuan partisipan kepada perempuan di bagian akhir cerita. Sebagai contoh dalam cerita Timun Emas, ibu Timun Emas mendapat bantuan dari pertapa lelaki sehingga lepas dari kejaran raksasa. Sementara Timun Emas bisa membunuh raksasa jahat karena barang-barang pemberian pertapa tersebut. “Hal ini memperlihatkan bahwa cerita anak tradisional Jawa Tengah mempunyai ideology dominan patriarki yang berpihak, memenangkan, dan menomorsatukan lelaki,â€jelasnya.
Harjito menambahkan cerita anak tardisional Jawa Tengah dengan arena keluarga dengan relasi cinta antara perempuan dengan laki-laki menurutnya terlalu berat untuk diberikan pada anak-anak. Karena dalam kebanyakan cerita romantisme menunjukkan tindakan kasih sayang dengan menikah di akhir cerita. Padahal menikah merupakan tindakan yang dilakukan perempuan dan lelaki dewas, bukan dilakukan oleh anak-anak. “Seharusnya anak diberikan cerita yang sesuai dengan usianya dan sesuai dengan pengalaman emosi anak-anak. Namun, arena politik dan ekonomi ddi dalamnya dapat menghadirkan simpati kepada perempuan karena perempuan selalu disisihkan dari arena ekonomi, terutama arena politik,†papar Harjito. (Humas UGM/Ika)