Sejak diberlakukannya sistem INA-CBGs, pengkodean diagnosis dalam input data rekam medis menghadapi tantangan yang kompleks. Pasalnya, sistem yang mengelompokkan ragam penyakit dalam kelompok tertentu tersebut menciptakan kesulitan di dalam sistem pengkodean diagnosis. Hal tersebut pada akhirnya berdampak pada penghitungan biaya rumah sakit.
Nurhayati, staf pengajar prodi Rekam Medis Sekolah Vokasi UGM menyebutkan kode diagnosis merupakan salah satu variable penghitungan biaya rumah sakit. Apabila terjadi kesalahan saat memasukan kode diagnosis dalam input data rekam medis di rumah sakit dapat menyebabkan kerugian finansial yang sangat besar bagi rumah sakit.
“Jika kode diagnosis tidak lengkap, maka pembayaran tidak sesuai dengan tindakan. Jika kode salah, maka pembayaran akan salahâ€, tuturnya dalam pelatihan penerapan ICD-10 di fasilitas kesehatan yang diselenggarakan Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KPMAK) FK UGM di Hotel Pop Yogyakarta, Kamis (18/4). Pelatihan diikuti staf Dinas Kesehatan Kabupaten Penajam Paser Utara untuk mengakselerasi sinkronisasi data sistem manajemen kesehatan Kabupaten Penajam Paser Utara dengan data nasional, terutama dalam persiapan penerapan BPJS di tahun 2014 mendatang.
Dicontohkan Nurhayati, kesalahan memasukan kode diagnosis sempat terjadi di RSUD Wates, Kabupaten Kulon Progo. Rumah sakit tersebut terpaksa harus menanggung kerugian hingga Rp. 90 juta karena ketidakakuratan data diagnosis.
Menurutnya, sistem pengkodean ini bisa menggunakan sistem lain selain ICD-10. Namun dalam pelaksanaannya harus tetap mengikuti sistem yang diberlakukan oleh Departemen Kesahatan RI. Diakuinya, hingga saat ini masih saja terdapat tenaga kesehatan yang belum memhami tentang ICD-10. Akibatnya, ketika akan membuat laporan akan muncul keterangan ‘lain-lain’ yang cukup tinggi. ICD-10 adalah suatu klasifikasi dan kodefikasi penyakit secara internasional yang sudah diterapkan di Indonesia sejak 1997.
“Akhirnya kode diagnosis lain-lain ini menjadi suatu pelaporan yang tidak spesifik. Seperti pada kasus TB, ada saja kasus pengulangan input diagnosis sehingga ada kasus di suatu daerah yang memiliki kasus TB yang tinggi, padahal yang terjadi adalah pengulangan input pasien saja,†urainya.
Keakuratan kode diagnosis menjadi penting karena terkait dengan pembayaran klaim oleh pihak rumah sakit. Ditambah lagi di era BPJS nanti yang setiap warga akan terjamin dalam asuransi kesehatan dan pembayaran dilakukan oleh BPJS.
“Kami yang bergelut di bidang rekam medis tugasnya adalah mengkodekan diagnosis penyakit. Koder yang profesional harus didasarkan pada pendidikan perekam medis yang memadai. Khususnya pada materi ICD- 10,†tambah Rawi Miharti, staf pengajar Rekam Medis Sekolah Vokasi UGM.
Deperteman Kesehatan RI sejak tahun 1997 silam telah menetapkan ICD-10 sebagai sistem yang dipakai dalam pengkategorisasian rekam medis di Indonesia. Namun, sampai saat ini banyak daerah di wilayah Indonesia yang masih menggunakan ICD-9 dalam sistem pengkodean diagnosis. Hal ini ini menyebabkan kesulitan dalam pelaporan data dan mengakibatkan ketidaksinkronan data dengan daerah lainnya. Selain itu, tidak sedikit daerah di Indoensia yang belum siap dalam segi infrastruktur. Data base kode diagnosis yang ada belum didukung dengan sistem manajemen data kesehatan yang sinkron dengan data Kementrian Kesehatan dan WHO.
“Untuk Kabupaten Penajam Paser Utara sendiri, permasalahan yang banyak dialami oleh fasilitas kesehatan, terutama Puskesmas adalah kesulitan pelaporan yang tidak tepat waktu,†ujar H. Sutrisno, SKM., MM, Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Penajam Paser Utara, Kaltim.
Sutrisno mengatakan rencana Indonesia mengimplementasi universal health coverage dengan pembentukan BPJS seyogianya memperhatikan akselerasi sinkronisasi manajemen data kesehatan di daerah. Dengan langkah tersebut diharapkan nantinya setiap data pembiayaan kesehatan setiap daerah bisa sinkron secara nasional dan meminimalisir terjadinya kerugian baik bagi pasien maupun penyelenggara kesehatan. (Humas UGM/Ika)