YOGYAKARTA – Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Sigit Pamungkas, mengatakan pemilihan umum 2014 menjadikan tantangan mempertaruhkan kredibilitas partai dan proses penyelenggaraan pemilu oleh KPU untuk bisa melakukan praktek berdemokrasi secara baik. Namun tidak kalah penting, setiap kegiatan pemilu diharapkan mampu memberi ruang bagi munculnya kekuatan politik baru atau pengulangan dari kekuatan politik sebelumnya. Kesemuanya bergantung pada kritisme pemilih dalam menggunakan hak pilihnya. “Kejutan di pemilu tahun depan memiliki peluang sangat besar terjadi sebagai akibat persoalan yang melanda partai dan munculnya kritisme pemilih,†kata Sigit dalam seminar ‘Political Outlook:Menuju Indonesia 2014†di ruang seminar timur Fisipol, Sabtu (20/4). Hadir juga sebagai narasumber, pengamat politik Fisipol UGM, Dr. Ari Dwipayana,SIP., M.Si, Anggota Komisi II DPR RI Agus Purnomo, dan mantan anggota KPU Pusat, Sri Nurhayati.
Sigit menyebutkan tiga periode terakhir pemilu sebelumnya mampu memunculkan kekuatan politik baru. Ia mencontohkan pemilu 1999 melahirkan banyak partai di luar 3 partai besar, pemilu 2004 melahirkan partai Demokrat dan Hanura. Lalu, pada pemilu 2009 muncul partai politik Gerindra. “Saya kira pada 2014, 12 partai punya peluang yang sama,†katanya.
Pengamat politik, Dr. Ari Dwipayana,SIP., M.Si mengatakan dalam dua kali pemilihan umum 2004 dan 2009 terdapat kecenderungan perubahan perilaku pemilih. Pasalnya munculnya undecided pemilih yang meningkat akibat penurunan loyalitas pemilih tehadap partai. “Pemilih loyal hanya bertahan 20 persen,†kata Ari.
Ditambahkan Ari, fenomena ini sudah tebukti dalam pemilukada dengan membesarnya split ticket voting. Dengan demikian diasumsikan pemilih sudah menjurus kepada pemilih tidak loyal. “Ini ruang besar bagi partai untuk memperebutkan. Tapi ini juga persoalan serius dihadapi partai politik,†imbuhnya.
Ari menilai partai saat ini mengalami kesulitan mendiferensiasi isu agenda seting. Meski semua partai sudah melakukannya. Ada tiga isu sangat dominan di tengah masyarakat namun isu tersebut kehilangan relevantif dan sulit dijual sebagai isu partai politik. Pertama, isu korupsi yang sulit dijual karena praktek kartelisasi yang terjadi di partai. Kedua, isu populis tekait dengan program dan kebijakan populistik yang cenderung digunakan semua partai dan kandidat. Sehingga tidak heran di setiap pemilukada, masing kandidat mengangkat isu pendidikan dan kesehatan gratis.
Karena kesulitan untuk menemukan diferensiasi isu maka strategi elektoral yang digunakan partai adalah menjual kandidat. Dimunculkannya strategi vote getter, nampak dari fenomena caleg menteri dan artis. “Ini semua strategi electoral yang memakai figur sebagai vote getter,†ungkapnya.
Selain itu, usaha partai untuk melakukan lelang caleg untuk meningkatkan potensi keterpilihan caleg menunjukkan bahwa partai mengalami kelangkaan untuk memenuhi 100 persen daftar caleg di 77 dapil di seluruh Indonesia. “Sebagian partai ternyata mengalami krisis kader,†katanya.
Yang tidak kalah penting untuk dicermati dan diawasi oleh KPU menurut Ari adanya persoalan pemenuhan kuota perempuan sebanyak 30 persen untuk daftar caleg. “Banyak tidak disiapkan dari awal oleh partai,†imbuhnya.
Sementara Sri Nurhayati menekankan agar penyelenggraan pemilu 2014 jangan sampai terkendala karena adanya hambatan pencairan anggaran. Menurutnya KPU membutuhkan anggaran untuk melakukan pemutakhiran data pemilih, pembentukan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS). “Harus ada komunikasi yang lebih baik tekait anggaran dan manajerial organisasi. Tantangan KPU menyelenggarakan tahapan tepat waktu, tantangan komisi II DPR mensupport anggaran agar bisa jalan,†pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)