YOGYAKARTA – Kuota 30 persen caleg perempuan seperti yang diamanatkan Undang-Undang Pemilu diharapkan memberikan kesempatan bagi perempuan agar bisa berperan dalam menjadi perumus dan pengambil kebijakan. Namun demikian, kenyataanya setelah melewati tiga kali pemilu, jumlah perempuan yang duduk di kursi di legislatif belum mencapai angka 30 persen. “Rata-rata hanya berkisar 12 persen perempuan yang berhasil duduk di legislatif. Artinya, tidak ada satupun parpol yang bisa memenuhi kuota tersebut,†kata Sosiolog UGM, Dr. Partini menanggapi isu penentuan kuota caleg perempuan partai, Senin (22/4).
Sulitnya perempuan untuk bisa terpilih menjadi anggota politisi diakui Partini disebabkan minimnya caleg perempuan berkualitas yang dimiliki oleh partai. Kondisi ini diakibatkan partai politik tidak berhasil melaksanakan proses kaderisasi dan juga belum mampu memberikan pendidikan politik yang bagus bagi perempuan. “Disamping perempuannya sendiri juga belum siap untuk terjun ke dunia politik,†katanya.
Partini mencontohkan, beberapa anggota legisltif perempuan di DPR RI yang terpilih tahun 2009 mayoritas berasal dari kalangan publik figur. Tidak jarang mereka yang dicalonkan karena dipinang oleh partai bukan melalui proses penggelembengan partai sejak lama. “Kalo dipinang tentunya mereka tidak banyak tahu seluk beluk politik. Saat terpilih mereka merasa baru belajar politik, kendati mereka nantinya juga bisa menyesuaikan, tapi tetap saja kualitas mereka diragukan,†kata perempuan kelahiran Klaten 62 tahun lalu ini.
Untuk bisa sukses terjun ke politik setidaknya perempuan memiliki dua modal penting, yakni modal keberanian dan rasa percaya diri yang cukup. “Selama ini perempuan umumnya memiliki modal keberanian dan rasa percaya diri yang sangat kurang meski memiliki pendidikan yang cukup,†imbuhnya.
Meski umumnya pengalaman di beberapa Negara, perempuan yang berhasil jadi politisi berasal dari keluarga politisi. Namun begitu tidak menutup kemungkinan peluang bagi perempuan untuk bisa men jadi politisi sukses. Oleh karena itu, ia menyarankan perempuan jauh hari lebih banyak belajar ikut berorganisasi. Dengan berorganisasi, perempuan mampu menyalurkan pendapat dan pemikirannya lewat organisasi. Selain itu, perempuan yang ingin berkarir di politik juga harus mendapat ijin keluarga. “Sepak terjang perempuan tidak akan bisa melampaui batas yang digariskan oleh kultur jika tidak ada ijin keluarga,†katanya.
Yang tidak kalah penting, tambahnya, perempuan juga harus memiliki pengetahuan dan membangun jaringan cukup luas. Dia mencontohkan kisah dua caleg perempuan di Depok, Jawa Barat dan di NTT pada pemilu 2009 yang berhasil meraih suara mengungguli perolehan suara caleg laki-laki. Apa pasal?salah satunya karena kedua caleg ini sama-sama berprofesi bidan yang sering berinteraksi langsung ke masyarakat. “Keduanya bisa mengambil hati dan menolong masyarakat tanpa pamrih dan punya networking yang sangat banyak,†katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)