Jatuhnya Soeharto membuat depolitisasi Islam, yang sebenarnya sudah mengendur sejak awal 1990-an tidak lagi efektif. Kekuatan-kekuatan politik Islam pun muncul meramaikan Indonesia pada masa reformasi, baik sebagai peserta pemilu maupun sebagai kekuatan di luar sistim elektoral.
Dalam pengamatan Muhammad Jazir ASP, prestasi partai-partai Islam dalam Pemilu sepintas tidak mengesankan. Dengan tidak memasukan PAN dan PKB, suara partai-partai yang secara terbuka menyebutkan Islam sebagai asas mengalami fluktuasi.
Data menyebut di tahun 1999 sebanyak 14,5 persen (PBB, PK, PPP dan partai-partai lain), tahun 2004 18,11 persen (PPP, PKS, PBB) dan di tahun 2009 menjadi 14,99 persen (PKS, PPP, PBB). “Dari data ini tidak berarti Islam kehilangan pengaruh dalam politik. Karena masyarakat yang semakin religius menjadikan partai-partai yang tidak berlabel Islam pun kini mengakomodasi kepentingan umat Islam,†ujar Muh. Jazir ASP dalam Forum Group Discussion Relasi Islam dan Politik Dalam Bingkai Ideologi Pancasila, di Pusat Studi Pancasila UGM, Selasa (23/4).
Menyitir pendapat Anies Baswedan, Muh. Jazir menyebutkan aspirasi umat Islam saat ini disalurkan melalui tiga katagori partai, Partai Islamis (PKS, PPP dan PBB), Partai Islam inklusif (PKB dan PAN) dan Partai sekular Eksklusif (Golkar). Meski begitu, partai-partai yang diidentifikasi sebagai Partai sekular Eksklusif, seperti PDI-P pun kini memiliki Baitul Muslimin Indonesia dengan beberapa tokohnya tampil sebagai muslim.
Membahas makalah Politik Islam: Tumbuh Bersama Semangat Kebangsaan dan Kemanusiaan, Muh. Jazir mengingatkan bahwa pembicaraan mengenai Politik Islam dan Politik Nasional, tidak sepantasnya direduksi menjadi pembicaraan mengenai “siapa dapat apa†dengan menghitung besaran suara ketika Pemilu atau jabatan yang dikuasai. Bahwa di tengah pragmatisme yang menjangkiti hampir semua kekuatan politik negeri ini, sudah saatnya kekuatan-kekuatan Politik Islam dan kekuatan politik lain merenungi hal yang lebih mendalam dan substansial untuk membuktikan komitmen bila Islam adalah rahmat bagi semesta.
Sehingga Politik Islam dan demokrasi tidak boleh direduksi menjadi urusan partai-partai. “Politik Islam non-partisanâ€, misalnya bisa saja menjadikan masjid sebagai institusi masyarakat sipil yang kuat, yang dapat mengawasi kinerja pemerintah, memberdayakan jamaah, mendorong kebijakan nyata pro-rakyat, atau bahkan menyalurkan aspirasi akar rumput. “Ini tentu menjadi salah satu elemen yang dapat membantu menyehatkan demokrasi Indonesia yang saat ini dikuasai para pemilik modal,†imbuhnya. (Humas UGM/ Agung)