Transformasi budaya merupakan salah satu proses yang turut menarik budaya etnik ke tatanan budaya negara kebangsaan. Sementara negara-kebangsaan memiliki naluri untuk menyisihkan dan mengesampingkan nilai-nilai lama yang dianggap menghambat efisiensi mesin negara kebangsaan.
“Dalam persoalan jati diri budaya etnik, naluri negara kebangsaan yang menekankan nilai efisiensi dan efektivitas menimbulkan pergeseran budaya yang jauh,†kata B.Rahmanto, M.Hum, staf pengajar Universitas Sanata Dharma Yogyakarta saat memaparkan hasil pemikiran kebudayaan Prof. Umar Kayam dalam diskusi Jelajah Pemikiran Budaya Umar Kayam dan Kuntowijoyo, Rabu (24/4) di Pusat Studi Kebudayaan UGM.
Salah satu dampak pemaksaan budaya barat dalam negara kebangsaan terlihat pada bahasa nasional yang mulai mendesak bahasa-bahasa daerah. Bahasa Indonesia dikembangkan menjadi bahasa politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, kesusateraan, dan pergaulan kehidupan kontemporer. “Sosok bahasa-bahasa daerah saat ini sedang dalam kondisi “rusakâ€, bercampur dengan bahasa nasional menjadi semacam bahasa “indoâ€,†tuturnya.
Naluri negara kebangsaan tersebut menurut pemikiran Umar Kayam juga membuat keputusan-keputusan politik dan ekonomi harus dilaksanakan pada tatanan nasional dan dari pusat. Sedangkan daerah, tempat masyarakat etnik hanya menjadi pelaksana dari keputusan nasional tersebut. “Karena negara kebangsaan juga berwawasan internasional di bidang politik dan ekonomi, maka sistem nilai termasuk gaya hidup negara asing, terutama negara maju, merembes masuk ke negara kita,†jelas Rahmanto.
Dampak dari hal tersebut, ditambahkan Rahmanto terlihat pada gaya berpakaian anak muda, aspek seni kontemporer, musik, hiburan dan olahraga. Sementara itu kebiasaan, tata karma, dan kesenian yang dulu dibingkai oleh sistem budaya masyarakat agraris tradisional saat ini mengalami kekacauan yang luar biasa sebagai konsenkuensi penerimaan menjadi negara kebangsaan moderen.
Sementara, Partiningsih, mahasiswi Program Doktor FIB dalam kesempatan itu menggali pemikiran sastrawan dan sejarawan ternama yakni Kuntowijoyo melalui empat novelnya yaitu Pasar, Khotbah Di Atas Bukit, Mantra Penjinak Ular, dan Wasripin dan Satinah. Dalam keempat novel tersebut terlihat pemikiran Kuntowijoyo tentang perubahan sosialyang terjadi di masyarakat Jawa. Dalam pandangan Kuntowijoyo, nilai-nilai Barat atau modernisasi yang seharusnya menyesuaikan diri dengan nilai-nilai SIlam dan budaya Jawa. Pasalnya manusia Jawa memiliki sifat lentur dan punya daya tersendiri. “Jadi bukan Islam dan Jawa yang harus menyesuaikan arus moderenisasi,†paparnya.
Partiningsih menyampaikan dalam empat novel tersebut Kuntowijoyo berusaha mengetengahkan filosofi manusia dan budaya Jawa yang digabung dengan gagasan pemikiran Islam. Situasi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang ditemukan dalam fakta sejarah. Pada novel-novel ini dengan gamblang mengungkapkan berbagai persoalan sosial dan kemasyarakatan yang terjadi semasa hidupnya. (Humas UGM/Ika)