YOGYAKARTA –Kamelia Dwi Jayanti, 27 tahun, menjadi salah satu dari 1.025 lulusan Pascasarjana yang diwisuda di Grha Sabha Pramana, Kamis (25/4). Di usianya yang tergolong masih muda, perempuan kelahiran Poso Sulawesi Tengah ini lulus dengan predikat cumlaude dengan IPK 3,89 diantara 180 wisudawan S2 yang dinyatakan lulus cumlaude. Berasal dari salah satu daerah tertinggal di Indonesia, membuatnya memiliki daya juang yang tinggi. Kamelia berhasil menyelesaikan kuliah dalam tempo 1,5 tahun. Bahkan di prodi ilmu tanah khusus angkatan 2011, ia menjadi satu-satunya yang pertama kali lulus. “Ya, termasuk cepat untuk ukuran orang yang kuliah salah jurusan seperti saya,†katanya merendah.
Salah jurusan yang dimaksud Kamelia karena pendidikan S1 yang disandangnya bukanlah bidang ilmu pertanian. Melainkan sarjana fisika. Ia bercerita, setelah lulus tahun 2009 dari Universitas Tadulako ia melamar menjadi dosen di fakultas pertanian di Universitas Sintumaroso, Palu. “Awalnya saya hanya mengajar fisika, lalu Dekan meminta saya mengajar ilmu pertanian lainnya, makanya untuk studi S2 saya ambil pertanian,†ungkap anak pertama dari dua bersaudara ini.
Perjuangan untuk kuliah S2 ke Universitas Gadjah Mada diceritakan tidaklah mudah. Saat jadi pengajar honorer untuk mengajar mata kuliah fisika ia hanya diberi honor Rp 800 ribu per semester. Meski honor yang diterimanya kecil, Kamelia tetap melakoninya dengan tulus. Cita-citanya untuk jadi pengajar selalu menyemangatinya untuk terus tetap bertahan. “Barangkali karena ibu saya itu guru SD, saya sudah punya bakat ngajar,†katanya tersenyum.
Setelah satu tahun menjadi dosen honorer, Kamelia kemudian diangkat menjadi dosen tetap. Kesempatan itulah dimanfaatkan Kamelia untuk mendaftar studi S2 di UGM. “Sejak dulu saya sudah bercita-cita ingin kuliah di sini,†katanya.
Tiga bulan pertama kuliah, Kamelia kesulitan untuk mengikuti materi yang disampaikan dosen. Ditambah dirinya tidak banyak tahu istilah-istilah pertanian yang disampaikan dosen saat kuliah. Apa yang dialami Kamelia tentunya berbeda dengan teman kuliahnya yang kebanyakan mereka lulusan pertanian sehingga mereka banyak tahu dan mengerti. “Saya masuk kuliah tanpa tahu apa-apa. Dua bulan kuliah, rasanya hanya pengen nangis, †ujarnya.
Kamelia tidak patah semangat, dia segera mencari solusi dari masalah yang dihadapainya. Yang dilakukannya mencatat satu persatu istilah pertanian yang disampaikan dosen. Setelah pulang kuliah, dia lalu berselancar di internet untuk mengetahui arti dari istilah pertanian yang didapatnya.
Kuliah di pertanian diakui Kamelia lebih banyak menghapal. Berbeda saat dirinya kuliah di fisika yang justru lebih banyak berhitung. Setelah lebih dari setengah tahun, kamelia mampu mengikuti materi kuliah dengan baik.â€Selama diberi materi dengan baik, mudah dipahami, bisalah untuk diikuti,†ujarnya.
Rajin kuliah, mengunjungi perpustakaan dan mendownload jurnal di Internet, jadi cara Kamelia untuk segera menyelesaikan kuliahnya. Beruntung kamelia mendapat dosen pembimbing yang selalu menyemangatinya bahkan mendorong untuk segera merampungkan tesisnya. “Beliau selalu sediakan waktu saat mau konsultasi, “ katanya.
Yang membuatnya lebih cepat lulus dibanding teman senangkatannya diakui Kamelia karena dia mengambil tesis yang berkaitan sedikit dengan ilmu fisika sehingga bisa dirampungkan dalam waktu 4 bulan. “Saya ambil penelitian neraca air tanah di lahan pertanian di kalasan, jadi lebih banyak menghitungnya,†katanya sumringah. (Humas UGM/Gusti Grehenson)