Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM, Zainal Abidin Bagir menyebutkan kasus penodaan agama dan rumah ibadah di Indonesia menunjukkan trend yang meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan tidak tertutup kemungkinan kejadiannya akan terus meningkat pada tahun 2013.
“ Kalau di tahun sebelumnya tidak ada terobosan dalam penyelesaiannya, kemungkinan kasus penodaan agama dan rumah ibadah ini akan berulang di 2013 ini, bahkan meningkat ,†katanya saat menyampaikan laporan tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012, Kamis (25/4) di UGM.
Zainal mengungkapkan kasus penodaan agama dan rumah ibadah yang terjadi di Indonesia mengalami peningkatan secara kualitas. Hal ini terlihat dari adanya korban jiwa yang meninggal akibat dari kasus ini. Pada tahun 2011 lalu terdapat tiga korban meninggal terkait kasus Ahmadiyah di Gresik. Selanjutnya di tahun 2012 kasus Syiah di Sampang memakan satu orang korban meninggal dunia.
“Meskipun secara jumlah hanya sedikit memakan korban, tetapi kondisi ini cukup mengkhawatirkan jika tidak segera dicarikan jalan keluar,†ucap Zainal.
Hasil penelitian yang dilakukan CRCS UGM menunjukkan terjadi perluasan pengaruh wacana tentang ancaman aliran sesat . Meluasnya pengaruh wacana ancaman aliran sesat tidak hanya menyangkut jumlah, tetapi melebarnya spektrum sasaran dan aktor. Seperti yang terjadi di Aceh, tokoh agama arus utama dan pemerintah lokal Aceh turut mempropagandakan ancaman adanya alioran sesat yang menurut mereka patut diwaspadai. Kolaborasi pemerintah daerah, sebagian organisasi keagamaan arus utama dan kelompok minortitas radikal menciptakan arus kuat dalam kampanye anti aliran sesat. “Dalam situasi seperti ini kasus-kasus terkait aliran esat diperkirakan akan terus bermunculan di masa depan,†jelasnya.
Dalam menghadapi kasus-kasus penodaan agama, Zainal mengatakan tokoh dan umat beragama dalam situasi konflik apapun seyogianya menghindari kekerasan sebagai jalan menyelesaikan masalah. Sementara aparat kemanan dan pemerintah harus melakukan usaha pencegahan terhadap setiap potensi kekerasan dan bertugas secara profesional. “Mediasi merupakan salah satu cara yang banyak menunjukkan keberhasilan dalam kasus penodaan agama. Meskipun tidak semua upaya mediasi berhasil mencegah kekerasan, namun tingkat keberhasilan mencegah tindak kekerasan cukup tinggi,†paparnya.
Kendati begitu, Zainal menyayangkan resolusi yang dihasilkan dari upaya mediasi ini umumnya cenderung memenuhi kepentingan kelompok penentang dan tidak memberikan keadilan kepada korban. “Kegagalan upaya mediasi kebanyakan karena masih kuatnya kepentingan mayoritas atau kelompok penentang sehingga menimbulkan resistensi dari pihak korban,†ujarnya.
Meskipun mediasi yang diupayakan selam ini masih belum ideal dan tidak selalu berhasil, Zainal mengatakan bahwa berbagai upaya mediasi yang telah dilakukan memberikan optimism dalam usaha penyelesaian kasus penodaan agama di Indonesia. Kenati begitu, menurutnya masih diperlukan adanya penguatan kapasitas aparat kemanan, ulama dan tokoh masyarakat dalam teknik mediasi atau resolusi konflik serta komitmen menghargai hak-hak sipil kelompok minoritas.
Sementara Syamsurizal Panggabean, staf pengajar Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Sekolah Pascasarjana UGM menyampaikan Indonesia seharusnya memiliki lembaga mediator antariman dalam penyelesaian kasus penodaan agama dan rumah ibadah. Namun, kenyataannya lembaga tersebut hingga saat ini masih saja belum terbentuk. “Yang berlangsung sekarang ini sebenarnya proses-proses yang melibatkan pihak ketiga secara serabutan,†jelasnya.
Menurut pandangan Rizal, dalam penyelesaian berbagai kasus penodaan agama tidak sedikit pihak ketiga yang berlaku sebagai mediator masih saja berlaku tidak netral, bahkan memihak kepada salah satu diantara pihak yang bertikai. “Pihak ketiga seperti pemda, polisi, dan tokoh-tokoh agama masih sering tak imparsial, melainkan pandang bulu. Karenanya perlu pemberdayaan dan pendampingan supaya prinsip kesetaraan dalam proses mediasi bisa tercapai,†tuturnya. (Humas UGM/Ika)