YOGYAKARTA – Menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dianggap sebuah pilihan terbaik untuk mencari pekerjaan layak ditengah sulitnya lapangan pekerjaan di dalam negeri. Namun menjadi TKI di luar negeri bukan tujuan bagi para migran karena pekerjaan yang mereka lakoni sebatas ikatan kontrak. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru dan memberikan pelatihan bagi mantan TKI untuk bisa membuka lapangan kerja produktif secara mandiri.
Demikian yang mengemuka dalam ujian promosi doktor, Dra. Trisnaningsih, M.Si., pada prodi Ilmu Kepundudukan, Sekolah Pascasarjana (SPs) UGM, di gedung seminar SPs, Sabtu (27/4). Bertindak selaku promotor Prof. Dr. Muhadjir Darwin, M.P.A., Ko-promotor Prof. Drs. Kasto, M.A., dan Dr. Anna Marie Wattie, M.A.
Trinaningsih yang kini bekerja sebagai Dosen Jurusan Pendidikan IPS. Prodi Geografi, FKIP, Universitas Lampung, ini mengemukakan dari penelitiannya di desa Rantau Fajar di kecamatan Raman Utara, Lampung Timur, Lampung, menemukan 49,2 persen penduduk mantan TKI pada kelompok umur 30-39 tahun. “Sekitar 44,5 persen mantan TKI ingin menjadi TKI kembali karena tidak ada pekerjaan yang bisa mereka dapatkan,†kata Trisnaningsih.
Di desa tersebut, pada tahun 2010 tercatat penduduknya mencapai 3.331 jiwa atau 936 kepala keluarga, terdiri 1.666 laki-laki dan 1.671 perempuan dengan 80 persen tingkat pendidikan hanya sampai sekolah dasar. Namun demikian sebagian besar yang menjadi TKI adalah kaum perempuan.
Penelitian yang dilakukan pada kelompok perempuan mantan TKI ini diketahui perilaku produktif bernilai ekonomi dilakukan 63,3 persen mantan TKI dan 36,7 persen mantan TKI berperilaku produktif nonekonomi. Perilaku produktif ekonomi mantan TKI sekitar 75,9 persen di sektor pertanian. “Perilaku nonekonomi sebagian besar 95,4 persen dilakukan mantan TKI perempuan yang sebagian besar sudah menikah. Alasan utama mereka tidak bekerja karena dilarang keluarga,†ungkapnya.
Bagi TKI yang melakukan kegiatan produktif didorong oleh inisatif sendiri. Disayangkan belum dilakukan secara kelembagaan, misalnya membentuk asosiasi atau sejenis koperasi bagi mantan TKI. Karenanya dibutuhkan pembinaan, pendampingan dan pelatihan keterampilan bagi mantan TKI, calon TKI dan keluarga TKI terutama yang berkaitan dengan kemampuan sumber daya manusia dan perencanaan pengelolaan keuangan agar mereka dapat merencanakan pemetaan remitan agar bisa berkarya secara mandiri. “Adanya asosiasi ini harapannya mantan TKI ini tidak berkeinginan kembali menjadi TKI lagi,†imbuhnya.
Intervensi pemerintah diakui Prastiningsih sangat diharapkan pasalnya mantan TKI menghadapi dilema lemahnya pengaruh modal sosial tehadap perilaku produktif ekonomi. Pasalnya modal sosial yang mereka miliki lebih bersifat sosial keagamaan sehingga kurang mendukung perilaku produktif bernilai ekonomi. (Humas UGM/Gusti Grehenson)