Dalam menjalankan aktivitas operasional dan keuangannya, perusahaan-perusahaan publik yang ada di Indonesia harus taat pada aturan-aturan yang dikeluarkan oleh badan pengawas pasar modal (Bapepam-LK) dan Bursa Efek Indonesia (dulu disebut Bursa Efek Jakarta atau disingkat BEJ). Pada tahun 2004 Bapepam-LK dan BEJ menerbitkan sejumlah aturan yang mempertegas kembali fungsi dan wewenang dewan komisaris agar dapat melakukan fungsi pengawasan dengan lebih efektif. Dalam aturan tersebut dinyatakan bahwa perusahaan publik harus memiliki komisaris independen sekurang-kurangnya 30%.
“Ini juga tidak terlepas dari skandal-skandal laporan keuangan yang terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri. Di Indonesia contohnya kasus penyajian laporan keuangan pada Bank Lippo yang mengindikasikan keterlibatan direksi perusahaan terlibat praktik manajemen laba untuk menutupi kerugian,â€tutur Sansaloni Butar-Butar pada ujian terbuka program doktor di Auditorium BRI Lt. 3 Program M.Si dan Doktor FEB UGM, Senin (29/4). Pada kesempatan itu Sansaloni mempertahankan disertasinya yang berjudul Implikasi Regulasi Pasar Modal Terhadap Motif Manajemen Laba: Pengujian Berbasis Teori Pensignalan.
Sansaloni menambahkan setelah melakukan pengujian dengan menggunakan analisis regresi, penelitiannya menunjukkan pengaruh dewan komisaris terhadap manajemen laba lebih kuat setelah SK tersebut terbit. Ini mengisyaratkan bahwa sebelum adanya SK, anggota independen tidak berperan efektif dalam meningkatkan fungsi pengawasan dewan komisaris.
“Kegagalan ini bisa disebabkan berbagai faktor, mulai dari kompetensi anggota independen yang tidak memadai hingga kriteria anggota independen yang tidak jelas walaupun persyaratan anggota independen minimal 30% telah dikeluarkan oleh BEJ,â€katanya.
Selain itu, kandungan prediktif akrual abnormal yang terkandung dalam laba berjalan perusahaan-perusahaan dalam periode 2004-2010 lebih tinggi dibandingkan periode 2001-2003. Ini mengisyaratkan bahwa setelah SK Bapepam-LK dan BEJ terbit dewan komisaris mampu menjalankan fungsi pengawasan dengan efektif. Meningkatnya independensi dewan komisaris terhadap dewan direksi memampukan dewan untuk mencegah intervensi terhadap proses pelaporan keuangan yang bermotif pribadi dan mendorong direksi untuk menggunakan metode pelaporan yang dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan.
Dari penelitian yang dilakukannya juga terungkap bahwa kemampuan prediktif akrual abnormal dan akrual abnormal positif pada periode 2004-2010 lebih tinggi dibandingkan periode 2001-2003.
“Artinya motif manajemen laba yang dilakukan setelah SK itu terbit lebih mengarah pada mekanisme pensignalan daripada oportunistik,â€imbuh dosen Universitas Katolik Soegijapranata tersebut.
Terakhir, dari penelitian itu juga terungkap bahwa korealasi antara akrual abnormal dan laba satu tahun ke depan pada perusahaan yang memiliki dewan komisaris yang mayoritas anggotanya berasal dari pihak independen tidak berbeda dengan perusahaan yang tidak memiliki mayoritas anggota yang independen. Temuan ini mengisyaratkan bahwa penambahan anggota independen hingga melebihi persyaratan minimal 30% yang ditetapkan tidak membawa perubahan yang signifikan pada penggunaan akrual sebagai sarana pensignalan (Humas UGM/Satria AN)