Indonesia merupakan negara penghasil nikel terbesar kedua dunia (232 kt/tahun) setelah Rusia yang memberikan sumbangan sekitar 15% dari jumlah produksi nikel secara global (1,79 juta ton) pada tahun 2010. Endapan laterit Soroako di Sulawesi merupakan sumber utama logam nikel di Indonesia yang telah ditambang dan diolah oleh PT. Inco (sekarang PT. Vale Indonesia) dengan hasil akhir berupa nikel matte (rerata 78% Ni plus 22% S).
“Bijih laterit nikel Soroako dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe barat dan tipe timur. Bijih tipe barat dicirikan oleh kadar Ni, olivin dan rasio silika-magnesia lebih tinggi dibandingkan dengan bijih tipe timur,â€papar Sufriadin pada ujian terbuka program doktor Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik UGM, Senin (6/5) di R. Sidang Lt. 2 Kantor Pusat Fakultas Teknik UGM.
Pada kesempatan tersebut Sufriadin mempertahankan disertasinya yang berjudul Mineralogi, Geokimia dan Sifat Pelindian (Leaching) Endapan Laterit Nikel Soroako, Sulawesi, Indonesia.
Sufriadin menambahkan akibat tingginya kebutuhan energi untuk memperoleh Ni dari bijih laterit, maka akhir-akhir ini penelitian mengenai perolehan nikel dari bijih laterit dengan metode leaching meningkat pesat. Kelebihan metode ini adalah karena bekerja pada suhu rendah dan unsur-unsur seperti Ni, Co, Fe, dan Mg dapat diperoleh bersamaan.
Dosen Jurusan Teknik Geologi Universitas Hasanuddin ini membagi penelitiannya menjadi dua, yaitu penelitian lapangan dan laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat serpentinisasi batuan peridotit sangat berpengaruh terhadap perkembangan mineralogi dan variasi kadar Ni pada bijih. Pelapukan batuan peridotit yang tidak mengalami proses serpentinisasi pada blok barat menghasilkan mineral pembawa Ni berupa garnierite dan goetit; sedangkan pelapukan batuan peridotit terserpentinisasi kuat pada blok Petea menghasilkan serpentin residual sebagai mineral pembawa Ni dan garnierite tidak berkembang dengan baik.
“Proses pengkayaan Ni dimulai dengan disolusi mineral primer secara kongruen yang diikuti oleh leaching Ni pada oksida besi di zona limonit oleh air meteoric,â€katanya.
Sementara itu hasil percobaan leaching bijih saprolit dari dua blok memperlihatkan bahwa laju pelindian Ni pada bijih blok Petea lebih tinggi disbanding dengan bijih blok barat. Hal ini disebabkan oleh dominasi mineral dengan struktur 2:1 (talc-like phases) pada bijih blok barat sebagai pembawa Ni yang bersifat refraktori.
Sebaliknya, mineral dengan struktur 1:1 (serpentine-like phases) mendominasi mineral pembawa Ni pada blok Petea. Tingginya konsentrasi Mg dan Fe pada larutan hasil leaching menunjukkan bahwa reaksi tidak selektif yang secara praktis tidak menguntungkan karena dapat mengkonsumsi asam berlebih.
“Meskipun demikian bijih Ni dari blok Petea yang didominasi oleh serpentin residual punya potensi lebih baik sebagai umpan dalam proses leaching pada tekanan atmosfir,â€imbuh Sufriadin yang lulus doktor dengan predikat cum laude itu.
Sufriadin berharap penelitiannya ini dapat menambah referensi mengenai pembentukan bijih nikel melalui proses pelapukan kimia batuan ultramafic di wilayah yang beriklim tropis seperti Indonesia. Secara parktis, penelitian leaching ini dapat memberi gambaran bahwa ekstraksi Ni dari bijih saprolit sebetulnya dapat dilakukan dengan metode hidrometallurgi terutama jika serpentin bertindak sebagai mineral utama pembawa Ni (Humas UGM/Satria AN)