Pada hakikatnya, kebebasan pers mencakup kebebasan positif “bebas untuk†dan kebebasan negatif “bebas dariâ€. Konsep “bebas untuk†berarti kondisi yang memungkinkan pers dapat berbuat sesuatu untuk mencapai apa yang diinginkannya, sedangkan konsep “bebas dari†adalah kondisi di mana pers tidak dipaksa untuk melakukan suatu perbuatan atau tindakan apapun diluar ketentuan pers.
Menurut Nana Sutikna, dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Soedirman, kebebasan pers harus berkembang secara dinamis sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman tanpa kehilangan karakter, identitas diri dan idealisme melalui pengembangan “budaya†rasionalitas. Karena itu pers diharapkan selalu membiasakan untuk mengembangkan akal budi pada titik objektif, sehingga mampu melihat dirinya sendiri, orang lain, dan alam dalam realitasnya masing-masing.
“Dengan begitu kebebasan pers diarahkan pada peningkatan nilai-nilai yang bersifat humanis, sehingga mampu mewujudkan manusia mandiri yang dapat menggunakan akal dan kesadarannya sebagai ukuran penilaian,†paparnya di University Center, Senin (6/5) saat menempuh ujian terbuka Filsafat Ilmu Komunikasi UGM.
Didampingi promotor Prof. Dr. Joko Siswanto, M.Hum dan Dr. Ali Mudhofir selaku ko-promotor, Nana Sutikna mempertahankan desertasi “ Dimensi Ontologis Kebebasan Menurut Erich Fromm Relevensinya Bagi Pengembangan Pers di Indonesiaâ€. Dalam pandangan pria kelahiran Cilacap, 24 Juli 1960, kebebasan merupakan tema yang mendapat perhatian cukup besar dalam pemikiran Fromm, karena kebebasan menurut Fromm selalu mewarnai eksistensi manusia sedemikian rupa sehingga maknanya berubah sesuai dengan tingkat kesadaran dan konsep manusia tentang dirinya sebagai makhluk yang independen dan terpisah.
“Fromm mengartikan kebebasan sebagai orientasi struktur karakter manusia dan kemampuan manusia untuk memilih. Manusia modern telah mampu meraih kebebasan negatif, ‘freedom from’ yakni bebas dari penentuan naluri atau bebas dari dominasi, alamiah, namun belum mampu mencapai kebebasan positif ‘freedom to’ yakni bebas untuk mengembangkan dan menggunakan seluruh kemampuan diri guna menjadikan dirinya semakin mandiri, semakin sadar akan kediriannya,†ungkap Nana Sutikna.
Sutikna mencatat terdapat tiga dimensi ontologis dalam kebebasan manusia yang dikembangkan Fromm, kebebasan yang bersifat otonom, kebebasan yang bersifat dinamis dan kebebasan yang bersifat humanis. Relevensinya dengan kebebasan pers di Indonesia, maka pers haruslah memiliki kebebasan otonom. Artinya, pers harus terbebas dari pengaruh kekuatan atau kepentingan di luar pers.
Selain itu, pers harus memiliki kebebasan yang dinamis, dimana pers senantiasa mampu menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan zaman tanpa merasa kehilangan indentitas, karakter dan idealisme. “Pers pun harus memiliki kebebasan yang humanis. Artinya kebebasan pers diarahkan dalam rangka mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan dan pengembangan martabat manusia,†tuturnya (Humas UGM/ Agung)