Penyakit demam berdarah dengue (DBD)sering dijumpai di Indonesia. Dengan iklim tropis dan masih buruknya sanitasi di masyarakat menjadikan kasus DBD hampir selalu terjadi setiap tahunnya di Indonesia. Bahkan pada tahun 2011 Indonesia menduduki posisi teratas dalam kasus dengue di Asia Tenggara dengan kejadian 10.000 kasus.
Sayangnya hingga saat ini masih belum ditemukan vaksin atau obat untuk mencegah penularan DBD. Berbagai upaya penanggulangan DBD yang telah dilakukan selama ini baik secara biologis dengan ikanisasi maupun secara kimiawi dengan menggunakan insektisida melalui berbagai aplikasi serta secara fisik dengan menguras, menutup, dan menimbun tampaknya belum sepenuhnya berhasil.
“Melihat kondisi tersebut kami melakukan penelitian untuk mengurangi penularan penyakit DBD pada manusia dengan pendekatan biologis memakai sejenis bakteri alami yakni Wolbachi,†kata Eggi Arguni, Ph.D., Peneliti Utama Eliminate Dengue Projet (EDP)-Yogyakarta , Selasa (7/5) di Fakultas Kedokteran UGM dalam EDP-Yogyakarta Technical Briefing.
EDP-Yogyakarta merupakan penelitian kerjasama antara Fakultas Kedokteran UGM, Yayasan Tahija,d an Universitas Monash, Australia. EDP-Yogya adalah bagian dari EDP-Global yang merupakan penelitian kolaboratif multinegara bagian dari EDP Global yaitu Australia, Vietnam, Indonesia, Thailand, Brazil, dan Cina untuk mengembangkat strategi alternatif menanggulangi penyakit dengue dengan bakteri wolbachia yang bisa menghambat replikasi virus dengue dalam wktor Aedes egypti. Program tersebut mengadopsi metode yang dilakukan oleh Australia dalam konteks lokal Yogyakarta.
Eggi menyampaikan bahwa wolbachia merupakan bakteri alami yang mampu menghambat virus dengue di tubuh nyamuk Aedes aegypti sehingga virus dengue tidak bisa ditularkan ke manusia. Wolbachia sendiri terdapat secara alami pada 70 persen tubuh serangga di bumi, termasuk berbagai jenis serangga yang biasa menggigit manusia. Bakteri ini hanya hidup dalam sel serangga dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui telur. “Wolbachia aman bagi manusia dan lingkungan. Selama ini manusia berinteraksi dengan serangga ber-wolbachia seperti kutu beras, kupu-kupu, laba-laba, dan lalat buah,†jelas staf pengajar Fakultas Kedokteran UGM ini.
Kini, EDP-Yogyakarta fokus memproduksi nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia melalui metode kawin silang. Untuk keperluan kawin silang tersebut ia mengimpor telur nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia dari Australia yang merupakan negara yang telah berhasil membiakkan dan melepas ke alam liar nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia. “ Saat ini kami berupaya melakukan kawin silang antara nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia Australia dengan nyamuk Aedes aegypti Yogyakarta sehingga akan didapatkan keturunan 100 persen nyamuk Aedes aegypti Wolbacia Yogyakarta,†ujarnya.
Dari penelitian yang dilakukan sejak tahun 2010 lalu, EDP-Yogyakarta telah menghasilkan delapan strain Aedes aegypti wolbachia. Namun yang digunakan saat ini adalah dari strain WPOPYOG(wMelPop) dan WMELYOG (wMel). Sedangkan enam lainnya masih merupakan kultur. “Hasil riset di laboratorium menunjukkan penggunaan bakteri wolbacia mampu mengendalikan replikasi virus dengue dalam tubuh vector Aedes aegypti . Tanpa wolbachia bisa menghasilkan sebanyak 20.000 copy virus DBD,sementara dengan Wolbachia hanya menghasilkan 500 copy virus dengue †urainya.
Lebih lanjut disampaikan Eggi, nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia mampu menghambat penularan virus DBD ke manusia dengan cara menggigit orang yang tertular dengue. Nyamuk tersebut akan mencerna darah yang mengadung virus dengue dengan menghalangi pertumbuhan virus dengue kemudian menggigit orang lain. Selanjutnya orang yang terkena gigitan nyamuk Aedes Aegypti ber-wolbachia tidak akan tertular dengue. Dengan cara tersebut diharapkan dapat dipakai sebagai strategi alternatif untuk menurunan transmisi atau penularan dengue kepada manusia.
“ Bulan September mendatang rencananya akan dilakukan pelepasliaran Aedes aegypti lokal ber-wolbachia di beberapa lokasi terpilih di Yogyakarta. Saat nyamuk-nyamuk tersebut kawin dengan nyamuk biasa, maka wolbachia aakan diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya sampai semua nyamuk di lingkungan itu mengandung wolbachia. Jika semua nyamuk Aedes aegypti telah ber-wolbachia maka nyamuk-nyamuk itu tidak akan mampu menularkan virus dengue dari satu manusia kem anusia lainnya,†papar Eggi.
Pada penelitian awal rencananya akan dilakukan pelepasliaran nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia di beberapa lokasi penelitian di Kabupaten Bantul dan Sleman. Untuk kabupaten Bantul akan dilakukan di dusun Jomblangan dan dusun Singosaren Kecamatan banguntapan. Sementara kabupaten Sleman di dusun Kronggahan 1, Kronggahan 2, Karang Tengah, Ponowaren,Mlangi, Nusupan, dan Biru . “Sekarang kami masih menunggu ijin danpersetujuan dari pemerintah untuk melakukan pelepasan liar nyamuk Aedes agypti lokal ber-wolbachia ini,†tuturnya.
Sementara Prof. Scott O’Neill, EDP Global dalam kesempatan itu menyampaikan penelitian pengembangan strategi alternatif untuk menanggulangi penyakit dengue dengan penggunaan bakteri wolbachia telah dilakukan di Australia sekitar 2000 silam. Bakteri wolbachia diambil dari lalat buah dengan teknik microinjection yakni menyuntikkan wolbachia ke dalam telur nyamuk Aedes aegypti. Selanjutnya dikawin silangkan dengan nyamuk Aedes Aegypti danmenhasilkan nyamuk yang seluruhnya ber-wolbachia. “ Kita sudah melepaskan nyamuk tersebut di dua lokasi di Australia utara dan mampu bertahan hidup,†jelasnya.
Melihat keberhasilan tersebut, EDP Global berusaha mentransfer hasil penelitian tersebut ke daerah-daerah yang potensial DBD. “Melalui metode ini harapannya bisa membantu mengendalikan penularan kasus DBD di seluruh belahan dunia,†harapnya. (Humas UGM/Ika)