Usaha persusuan telah lama dikembangkan di Indonesia . Namun krisis ekonomi pada tahun 1997 menyebabkan perkembangan usaha sapi perah relatif stagnan. Baru pada tahun 2008 populasi sapi perah Indonesia mulai menunjukkan peningkatan meskipun pertumbuhannya masih relatif lambat.
Konsumsi susu segar dan produk olahan susu segar masyarakat Indonesia tahun 2008 sebesar 6,92 kg per kapita per tahun. Sementara kontribusi produksi susu dalam negeri sebanyak 646.953 ton yang hanya bisa memenuhi sekitar 30 persen kebutuhan nasional sehingga 70 persen sisanya masih dipenuhi dari impor.
Kondisi ini menurut Prof. Dr. Ir. Budi Prasetyo Widyobroto, DESS., DEA., bisa menjadi peluang pasar yang besar bagi usaha sapi perah Indonesia. Hanya saja dengan daya saing peternak sapi perah yang kurang memadai justru mengakibatkan peternak kurang bergairah dan sebagian peternak menutup usaha dan beralih ke profesi lain. Karenanya penyusunan ransum sapi perah menjadi kunci manajemen sapi perah produksi tinggi.
“Sistem evaluasi pakan ternak ruminansia yang akurat harus memperhitungkan kebutuhan mikroba rumen dan kebutuhan inangnya sehingga protein terdegradasi dan protein tidak terdegradasi perlu diperhatikan dalam penyusunan ransum,†urainya saat menyampaikan pidato pengukuhan jabatan Guru Besar pada Fakultas Peternakan UGM, Senin (13/5) di Balai Senat UGM.
Dijelaskan Budi, sapi perah produksi tinggi memerlukan nutrisi khusus terutama pada periode puncak produksi awal laktasi. Kebutuhan asam amino yang tinggi ini tidak hanya dapat dipenuhi dari protein mikroba semata, tetapi juga dari protein tidak terdegradasi yang memiliki kandungan asam amino lengkap.
Implementasi sistem penyusunan ransum berdasarkan Protein Digestible dans l’Intestin (PDI)dengan memperhitungkan kebutuhan nutrien mikroba rumen dan ketersediaan asam amino sangat efektif pada sapi perah produksi tinggi. Penerapan sistem PDI tidak hanya bisa meningkatkan produksi susu, tetapi juga bisa meningkatkan produksi protein dan lemak susu. Selain itu juga mampu menurunkan kebutuhan suplementasi protein tidak terdegradasi dalam satuan yang sama dan menurunkan ekskresi Nitrogen per liter susu serta memperbaiki reproduksi dan kesehatan ternak. “Implementasi sistem PDI ini pada akhirnya meningkatkan pendapatan dari peternak,†jelas pria kelahiran Boyolali, 27 Mei 1961 ini.
Guna mempercepat implementasi sistem PDI di Indonesia, Budi menambahkan perlu koordinasi ulang antara kelompok peneliti ruminansia untuk mewujudkan impelementasi sistem PDI dan usah auntuk melengkapi data protein terdegradasi dan protein tidak terdegradasi, kecernaan protein tidak terdegradasi di intsetiunum dan kandungan asam aminonya. “ Tidak lupa juga dibutuhkan dukungan kebijakan dari pemerintah terkait ransum ternak ruminansia yang beredar di pasaran,†ujarnya. (Humas UGM/Ika)