YOGYAKARTA – Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di posisi tiga besar setelah China dan India bukanlah isapan jempol tapi memang benar adanya. Dibuktikan dengan bertambahnya jumlah masyarakat kelas menengah Indonesia yang mencapai 36 juta penduduk. Ditambah dengan bangkitnya industri manufaktur Indonesia yang sebagian besar telah berhasil menguasai pangsa pasar dunia. Oleh karena itu, kekuatan ekonomi ini menjadi modal bagi Indonesia untuk menuju ASEAN Economic Community pada tahun 2015.
Demikian dikemukan oleh Komisaris Independen BCA dan Unilever Indonesia, Dr. Cyrillus Harinowo dalam diskusi kebangkitan industri manufaktur Indonesia di FEB UGM, Senin (13/5). Dalam diskusi yang dipandu oleh pengamat ekonomi Dr. Tony Prasetiantono, Harinowo mengatakan kebangkitan industri Indonesia telah terjadi dan jauh melampaui laporan Badan Pusat Statistik. Dia menyebutkan industri makanan dan minuman, secara kasual pertumbuhan mereka umumnya double digit. “Dewasa ini Indofood, Wings, Mayora, Garudafoods, ABC, Dua Kelici, Teh Sosro, Ultra Jaya adalam nama pemain lokal yang semakin menggurita,†katanya.
Bidang industri otomotif mesin dan elektronika juga mengalami pertumbuhan pesat diatas 20%. Yang mengherankan, imbuhnya, BPS justru melaporkan industri kayu, pulp, paper dan barang cetakan. Padahal menurut Harinowo, industri ini sangat tidak mungkin tumbuh negative growth karena pertumbuhhan mereka didorong oleh indutsri makanan dan minuman, tekstil, eletronika dan farmasi untuk kebutuhan packaging. Memang diakui Harinowo, industri kayu di luar Jawa yang menggunakan HPH mengalami penurunan namun sebaliknya industri kayu di jawa bangkit pesat. “Salah satunya industri budidaya kayu sengon untuk dijadikan plywood, hardboard sangat maju pesat,†katanya.
Harinowo mencontohkan lagi, Sinar Mas yang bergerak di bidang minyak sawit, pulp and paper, properti dan industri keuangan telah ekspansi ke China dengan mendirikan 21 pabrik pulp and paper, lokasinya di Hainan dan Guangxi. “Sebagian besar pulp impor dari Indonesia. Lewat Asia Pulp and Paper (APP), mereka menjadi pemain nomor satu di China. Mereka juga punya 4 pabrik di kanada, dan masing-masing satu pabrik di Amerika, Perancis dan Jerman.,†tuturnya.
Di industri tekstil, Harinowo mencontohkan Sritex telah membangun pabrik garmen dan unit spinning mill (pemintalan). Sritex kini memiliki 123 unit spinning mill, padahal untuk membangun satu unit membutuhkan dana sedikitnya Rp 400 milyar. Perusahaan ini menjual permintaan benang dari Negara luar. “Benang saja, China pesannya ke Sritex. Perusahaan ini juga membuat pesanan baju pakaian milier Nato dan tentara Belanda,†katanya.
Dalam kesempatan itu, Harinowo juga menceritakan cerita sukses salah satu nasabah Bank BCA yang bernama Hadi Rahardja berhasil membangun pabrik kertas karton terbesar di Indonesia padahal awalnya tahun 1992 ia hanya jadi pengumpul karton bekas yang diperoleh dari pemulung. Untuk meningkatkan kapasitas produksi 650 ton per hari, ia membeli perusahaan kertas karton yang sudah bangkrut selama 30 tahun di Italia. “Nilai penjualannya saat ini meningkat dari Rp 500 milyar menjadi Rp 1 triliun per tahun,†katanya.
Alumnus jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi UGM ini mengatakan sudah saatnya pengusaha dan pelaku bisnis serta pengamat ekonomi menebar sikap optimisme pada masa depan ekonomi Indonesia. “Never under estimate kekuatan bisnis Indonesia,†pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)