Fakta menunjukkan misionaris Belanda merupakan bangsa barat yang memegang peranan penting dalam memperkenalkan Nyanyian Gereja, khususnya nyanyian mazmur yang berasal dari Jenewa di Indonesia, termasuk Maluku. Melalui pendekatan historis, Nyanyian Mazmur beserta bentuk nyanyian-nyanyian Gereja lain, yang pada mulanya hadir di Maluku, tumbuh dan berkembang hingga kini di Gereja Protestan Maluku.
Agustinus C.W. Gaspersz, dosen Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri (STAKPN) Ambon, mengatakan nyanyian-nyanyian Gereja tersebut telah menjadi nyanyian yang dipergunakan dalam peribadahan, baik dalam perayaan maupun ibadah liturgi. Warga masyarakat di lingkungan Gereja Maluku pun pada umumnya memahami bila sejak masuknya pemerintah kolonial Belanda di Maluku, pengaruh budaya musik Barat sangat mendominasi musik lokal di Maluku.
Bahkan dalam perkembangannya, nuansa musik lokal turut mempengaruhi musik Barat, melalui kontekstualisasi muatan lokal. “Hal ini sangat terlihat dalam Gereja Protestan Maluku atau GPM,†katanya di Sekolah Pascasarjana UGM, Senin (13/5) saat mempertahankan desertasi Keberadaan Nyanyian Gereja Di Gereja Protestan Maluku Sejak Abad ke-18 Hingga Awal Abad ke-21.
Pengaruh musik Barat di GPM, menurut Agustinus, sangat kuat sejak muncul dalam misi penyebaran oleh misionaris kolonial Belanda. Namun model dan ciri khas budaya Maluku dalam hal bahasa, gaya bernyanyi, iringan dan bentuk-bentuk nyanyian selalu memperlihatkan ciri budaya lokal Maluku.
Salah satu pertanda kontekstualisasi musik Barat dengan muatan lokal di GPM adalah banyaknya nyanyian Gereja dikarang para musisi Maluku dengan teks atau syair lagu berbahasa daerah. Sebagai contoh, nyanyian Gereja dikarang dengan bahasa melayu Ambon, bahasa Alune (seram), bahasa Fordata (MBD) dan bahasa Kisar. “Gaya menyanyikan lagu gereja Barat yang sangat mendominasi liturgis ibadah tidak lepas dari kebiasaan gaya lokal, yang biasa ditemukan dalam cara menyanyikan nyanyian kapata,†tuturnya.
Kata Agustinus, kontekstualisasi juga terlihat pada penggunaan tangga nada lokal seperti terts-tonic, kwart-tonic, pentatonic dan seksta-tonic, dan alat musik suling bambu yang menjadi pengiring nyanyian Gereja, selain brass terompet dan keyboard. Hal ini memperlihatkan bila GPM telah mengembangkan konsep kontektualisasi dalam sejarah bergereja di indonesia pada umumnya dan Maluku pada khususnya.
Saat menempuh ujian terbuka S3 Program Studi Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana UGM, Agustinus mengakui ketika para misionaris Belanda masuk ke Maluku, banyak jejak peninggalan Belanda menjadi bentuk seni musik tradisi bagi orang Maluku. Suling bambu diatonis barat, misalnya, tangga nada diatonisnya menginspirasi musisi Gereja di Maluku dalam menciptakan berbagai musik yang didominasi tangga nada musik Barat. Juga banyak nyanyian rakyat menggunakan tangga nada diatonis, misalnya, alat musik totobuang, walau bahan bakunya bonang hasil perjumpaan dengan budaya Islam, kombinasi kultural musik ini diakui sebagai musik tradisional daerah Maluku. “Penjelasan tersebut menunjukan proses akulturasi dengan budaya musik Barat yang dibawa melalui misi penyebaran agama Kristen oleh Misionaris Belanda ke Maluku adalah sebuah akulturasi yang pertumbuhannya hingga kini tetap mapan,†pungkasnya. (Humas UGM/ Agung).