Instabilitas ekspor Indonesia banyak dipengaruhi oleh instabilitas ekspor dan pertumbuhan produk domestik bruto Indonesia pada periode sebelumnya. Selain itu, pangsa ekspor Indonesia, variasi harga dalam negeri Amerika Serikat, dan instabilitas eskpor Malaysia turut mempengaruhi instabilitas ekspor Indonesia dalam jangka pendek. Demikian simpulan disertasi Drs. Haryono Subiyakto,M.Si., yang disampaikan pada ujian terbuka Program Doktor Ilmu Ekonomi di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Kamis (16/5).
Staf pengajar STIE YKPN Yogyakarta ini menyampaikan bahwa faktor-faktor seperti pertumbuhan produk domestik bruto Indonesia, pangsa ekspor Indonesia, variasi harga dalam negeri amerika Serikat, dan instabilitas ekspor Malaysia juga memberikan pengaruh pada instabilitas ekspor Indonesia dalam jangka panjang. Menurutnya, terdapat dua hal yang mendasari instabilitas ekspor Indonesia. Selain pangsa ekspor Indonesia yang rendah hanya berkisar satu persen juga komoditas ekspor yang sebagian besar masih berupa bahan mentah, bahan antara, dan komponen.
Pangsa ekspor yang rendah, lanjut Haryono, mengakibatkan fungsi permintaan yang dihadapi Indonesia sangat elastis sehingga perubahan penawaran akan berpengaruh besar terhadap penerimaan ekspor. Konsekuensi lain yang dimungkinkan muncul adalah harga komoditas ekspor mudah berubah dan mudah diganti oleh negara lain.
“Kondisi seperti ini mengakibatkan Indonesia mempunyai nilai ekspor yang cenderung instabil atau rentan terhadap instabilitas,†terangnya saat mempertahankan disertasi berjudul “Analisis Faktor Internal dan Eksternal Penyebab Instabilitas Ekspor†di hadapan dewan penguji.
Melihat kondisi tersebut Haryono memberikan masukan pada pemerintah untuk mendorong produsen guna meningkatkan produk yang mengalami peningkatan pertumbuhan permintaan sehingga pertumbuhan ekspor tidak terganggu. Hal ini patut dilakukan apabila peningkatan Program Pensiun Dini Bank Indonesia (PPDBI) adalah peningkatan pertumbuhan permintaan dalam negeri. Sementara apabila penyebab peningkatan PPDBI adalah peningkatan pertumbuhan output yang dihasilkan, pemerintah seyogianya memfasilitasi produsen dalam menghasilkan produk yang dapat diperdagangkan dalam bentuk barang jadi dan memiliki day asaing tinggi. Jika hal tersebut dilaksanakan diharapkan produk yang ada tidak rentan dengan perubahan harga atau digantikan negara lain. “Karenanya diperlukan kerjasama antar sektoral,†ujarnya.
Terkait dengan pangsa pasar ekspor Indoensia yang berpengaruh positif terhadap instabilitas ekspor Indoensia, Haryono menyebutkan pemerintah patut menetapkan kebijakan yang mendorong eksportir untuk mengurangi bahkan menidakan komoditas ekspor berbentuk bahan mentah dan bahan antara. Kebijakan tersebut tidak cukup hanya dengan membuat larangan ekspor bahan mentah, melainkan dengan memfasilitasi perusahaan agar bisa berinovasi menghasilkan komoditas olahan yang berdaya saing tinggi, dengan harga yang tidak mudah berubah, dantidak mudah digantikan negara lain.
“Pemerintah juga perlu memfasilitasi adanya perjanjian antara eksportir dan importer misalnya kontrak dagang untuk komoditas tertentu yang menjadi komoditas ekspor utama dan variasi harganya cukup tinggi di negara importir agar ada kepastian komoditas utama tidak tergantung pada harga dalam negeri importir,†tambahnya. (Humas UGM/Ika)