Kebudayaan milik bangsa Indonesia saat ini tengah dipertaruhkan. Ia bisa hilang atau di klaim menjadi milik orang atau bangsa lain.
Bagi Faris Rusydi Alivyerdana, keresahan tersebut sesungguhnya sudah lama dirasakan. Banyak generasi muda saat ini kurang memberi perhatian terhadap kebudayaan lokal yang dimiliki.
“Kita bisa lihat, anteng-anteng tapi begitu Malaysia mengklaim Reog Ponorogo dan Batik, para muda kita baru bereaksi. Baru mereka memakai batik, baru mereka merespon,†katanya di Pusat Studi Kebudayaan UGM, Kamis (16/5).
Kondisi tersebut, kata Faris, mencerminkan berbagai warisan budaya seni tari, musik dan lain-lain seolah menjadi milik orang tua bukan anak muda. Antusiasme mempelajari dan melestarikan berbagai budaya seni ke depan sesungguhnya berada di tangan mereka.
“Karena itu pelestarian terhadap budaya dan hasil seni lokal menjadi agenda yang mendesak untuk segera dilakukan, karena generasi muda inilah yang menjadi tulang punggung,†ungkapnya memberi keterangan menjelang pelaksanaan Seminar Nasional “Pemuda dan Kebangkitan Kebudayaan nasional†dan deklarasi Anak Muda Cinta Budaya Indonesia.
Seminar Nasional yang membahas kompleksitas pemuda dalam pusaran kebudayaan Indonesia kini dan tarikannya dengan warisan seni budaya, akan berlangsung di UC UGM, Rabu 22 Mei 2013. Selain Wiendu Nuryanti, Wakil Menteri Pendidikan & Kebudayaan bidang Kebudayaan, turut sumbang pemikiran Harry Waluyo, Dirjen ekonomi Kreatif Berbasis Media, Desain, dan IPTEK Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Aprinus Salam, Kepala PusatStudi Kebudayaan UGM.
Dalam seminar yang digelar Pusat Studi Kebudayaan UGM dan Yayasan Janur turut berbicara D. Zawami imron , budayawan Madura & Penyair, Watie Moerany S, Direktur Pengembangan Seni Rupa Ditjen Ekonomi Kreatif Berbasis Seni & Budaya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Unggul Sudrajat, penulis buku Spirit of Iron dan Faturokhman, Ketua Ikatan Pengrajin Keris Indonesia Mega Remeng, Sumenep Madura.
“Kenapa dilaksanakan di Jogja, ya karena di kota inilah gambaran Indonesia mini. Banyak anak muda berkumpul disini dan nantinya dari Ikatan Keluarga Pelajar dan Mahasiswa daerah akan membacakan deklarasi bersama saat seminar berlangsung,†kata Faris selaku Ketua Panitia Seminar.
Dr. Aprinus Salam, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM berpendapat sama. Ia sejak lama prihatin terjadi gap antar generasi dalam hal nguri-nguri kebudayaan. Kebudayaan seolah menjadi milik orang tua, sementara orang muda merasa ada sekat yang membatasi.
Sehingga tidak mengherankan bila kemudian generasi muda hadir dalam budaya-budaya luar yang sangat masif dengan beragam kemajuan. “Mereka merasa kesulitan, seolah menjadi generasi yang ambigu, mengamini kebudayaan luar padahal ingin sekali untuk kebudayaan yang lokal,†terangnya. (Humas/ Agung)