Pengalaman masa penjajahan kolonial banyak tertuang berbagai karya sastra Hindia Belanda maupun Indonesia. Beberapa karya seperti Multatuli, Hikayat Kadiroen, Salah Asoehan, Bumi Manusia, De Stille Kracht, dan Student Hijo dengan bahasa yang berbeda merepresentasikan pandangan-pandangan dan nilai-nilai kemasyarakatan pada masa itu.
Dra. Christina Dewi Tri Muwarni, M.Hum., menyampaikan orang Belanda dan Indonesia pada masa kolonial bersama-sama menjadi bagian dari satu masyarakat yang digerakkan oleh sistem kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang sama. Berbagai karya sastra yang muncul di masa itu , baik yang ditulis oleh sastrawan Indonesia maupun Hindia Belanda merepresentasikan hal yang sama yaitu pengalaman hidup manusia berupa kebenaran dan kenyataan dalam masyarakat kolonial Hindia Belanda.
“Seperti yang terlihat pada teks Bumi Manusia karya Pramodeya Ananta Toer dan De Stille Kracht karya Louis Couperus memberikan bukti bahwa kedua karya tersebut dengan gaya penuturan berbeda, namun menggambarkan hal yang sama tentang kondisi masyarakat di zaman kolonial Hindia Belanda peralihan abad 19-20,†terang staf pengajar Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini saat melaksanakan ujian terbuka Program Doktor Ilmu-ilmu Humaniora Fakultas Ilmu Budaya UGM, Rabu (22/5). Dalam kesempatan itu ia mempertahankan disertasi berjudul “Repersentasi Perlawanan Pribumi Masa Peralihan Abad ke-19 Sampai ke-20 di Hindia Belanda dalam Novel De Stille Kracht dan Bumi Manusia.
Christina menyebutkan kedua novel tersebut membawa ingatan bangsa Indoensia kepada pengkotak-kotakan manusia berdasar ras secara politis. Disamping hal itu juga pembeda fasilitas baik dalam pendidikan, hukum, pemukiman rasial, dan fasilitas publik lainnya. Dalam novel De Stille Kracht mengambil bentuk fokalisator eksternal dengan narrator yang tidak diketahui identitasnya. Selain itu narator dalam novel ini mengambil jarak dengan kehidupan tokohnya sehingga narator bisa bersikap relatife netral terhadap penjajah maupun yang terjajah. Namun begitu, novel ini berani menunjukkan kebobrokan kehidupan Hindia Belanda yang disokong perilaku orang-orang elite di pemerintahan baik pribumi maupun Belanda dan lingkungannya. Hal serupa disajikan dalam novel Bumi Manusia yang dalam menempatkan tokoh-tokoh terjajah untuk bertutur tentang pengalaman dan perjuangan dalam melawan ketidakadilan penjajah.
“Kendati keduanya sama-sama merepresentasikan perlawanan terhadap penjajah, tetapi disampaikan dengan cara yang berbeda,†jelasnya.
Christina mengatakan novel De Stille Kracht masih menunjukkan keraguan akan keberhasilan pemerintah kolonial untuk tetap menguasai Hindia Belanda karena resistensi penduduk Jawa terhadap Barat. Selalu ada gagasan untuk melawan penjajah dan siap melawan bila diserang. Suara perlawanan juga ditunjukkan dengan dukungan terhadap nasib tokoh utamanya yaitu kekalahan mental tokoh utama.
Lebih jauh Christina memaparkan kedua novel menawarkan kesadaran bahwa relasi kemanusiaan yang tidakmengakui kesamaan harkat kemanusiaan, pelakunya kan mengalami kehancuran maupun berujung pada kesengsaraan. Relasi serupa akan selalu menghadirkan perlawananm pertentangan, dan perjuangan kemanusiaan. “ Keduanya mendukung penghapusan penjajah dari Hindia Belanda karena penjajahan menempatkan manusia dalam perbedaan harkat kemanusiaan. Dari dua novel tersebut juga memberikan cerminan bagi manusia masa kini yang masih saja tidak menghargai kesamaan harkat manusia dalam menjalin relasi antar sesama,†ujarnya. (Humas UGM/Ika)