Kebudayaan belum menjadi mainstream (arus utama) pembangunan nasional. Di sisi lain bangsa Indonesia masih banyak mengkonsumsi budaya asing sehingga terjadi defisit produk kebudayaan. Plt. Direktur Jenderal Kebudayaan, Prof. Kacung Marijan, Ph.D mengatakan selama ini mainstream pembangunan nasional lebih banyak diserahkan kepada pasar dan negara.
“Akibatnya kapitalisme mengemuka dan mengesampingkan keadilan. Selain itu juga lebih banyak menekankan arahan dari pusat saja,â€tegas Kacung Marijan pada Seminar Pemuda dan Kebangkitan Kebudayaan Nasional di UC UGM, Rabu (22/5).
Kacung optimis Indonesia bisa mandiri secara ekonomi di tahun 2030 mendatang. Namun, untuk mandiri secara ekonomi harus didukung dengan kemandirian budaya. Ia mencontohkan 40 tahun lalu kondisi perekonomian Indonesia dan Korea sejajar. Kondisi saat ini telah berubah dan Indonesia tertinggal dengan Korea. Menurut Kacung negara Korea memiliki semangat yang tinggi dengan mengedepankan harga diri dan harkat martabat dengan negara pesaingnya, Jepang, sehingga perekonomiannya maju.
“Korea terus mengembangkan industri dengan menciptakan produk yang sama dengan Jepang tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya yang dimiliki,â€tegasnya.
Proses budaya kreatif, kata Kacung, sebenarnya telah dicontohkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia seperti adanya keris. Proses kreatif budaya semacam inilah yang saat ini mendapat perhatian serius dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Bukti keseriusan lain pemerintah mengangkat kebudayaan, yaitu diterapkannya mata pelajaran seni dan budaya sebagai mata pelajaran wajib di tingkat dasar dan menengah melalui kurikulum 2013.
“Ini juga bukti keseriusan pemerintah meskipun tidak mudah menjalankannya,â€kata Kacung.
Sementara itu Staf Ahli Menteri Bidang Multikultural Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif, Hari Untoro Drajat, dalam acara itu mengangkat keris sebagai salah satu industri ekonomi lokal dan kebudayaan lokal Indonesia. Hari menilai sejauh ini pengembangan industri keris sudah signifikan dan menuju kepada pengembangan ekonomi (industri) kreatif. Keris merupakan salah satu bentuk pengembangan industri budaya yang sedang tumbuh menjadi ekonomi (industri) kreatif Indonesia yang meliputi 3 dari 14 subsektor ekonomi kreatif, yaitu seni rupa, kerajinan, dan desain.
“Kreatifitas, produksi dan pemasarannya harus terus ditingkatkan karena keris sudah menuju pengembangan ekonomi kreatif,â€papar Hari.
Di tempat sama Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM, Dr. Aprinus Salam menyoroti kondisi Yogyakarta yang masih memperlihatkan masyarakatnya hidup berkelompok, sesuai dengan basis etnis dan atau daerah, atau berkelompok berdasarkan agama tertentu. Hal ini terlihat bahwa sebagian besar pelajar/mahasiswa yang sekolah di Yogyakarta memiliki asrama-asrama, baik di tingkat propinsi, maupun di tingkat kabupaten/daerah.
“Pelajar dan mahasiswa yang masih berkelompok sesuai dengan daerahnya masing-masing, tidak secara signifikan belajar kebudayaan etnis atau daerah lain,â€kata Aprinus.
Kondisi ini menyebabkan terjadinya ekslusivisme etnis atau kedaerahan sehingga gagasan kebudayaan nasional tidak berkembang. Padahal sejauh ini Yogyakarta berpotensi menjadi tempat Taman Persemaian dan Pengembangan Kebudayaan Nasional. Untuk itu perlu alih fungsi semua asrama tingkat propinsi untuk dijadikan ruang pamer kebudayaan propinsi. Selain itu perlunya fasilitasi ruang-ruang publik yang memudahkan proses pertemuan dan berkarya untuk proses pengembangan kesenyawaan kebudayaan (Humas UGM/Satria AN)