Estetika yang ditampilkan dalam iklan tidak sepenuhnya bebas makna. Dengan segala potensinya, iklan banyak membawa pengaruh bagi masyarakat. Tidak hanya melahirkan konsumerisme, materialism, maupun hedonisme semata. Lebih dari itu, iklan mampu membawa dampak negatif bahkan dapat merusak identitas kultural dannasionalisme sebuah bangsa
Kasiyan, S.Pd., M.Hum., staf pengajar Jurusan Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menuturkan bahwa dalam perspektif postkolonial setidaknya ditemukan tujuh kategori pola sistem tanda hegemoni postkolonial yang mendominasi dalam representasi estetika iklan moderen di media massa cetak Indonesia. Salah satunya menunjukkan obsesi terhadap ketubuhan Barat.
“Domain obsesi terhadap ketubuhan Barat tak hanya ditunjukkan dalam sosok model ilustrasi utama. Berbagai isi pesan yang terdapat dalam representasi estetika iklan juga dihegemoni oleh sejumlah citra tentang kulit tubuh berwarna putih yang notabene adalah warna kulit khas ketrurunan ras Kaukasoid Barat,” jelasnya, Senin (27/5) saat melaksanakan ujian terbuka Program Doktor Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pascasarjana UGM.
Menurutnya, fenomena ini merupakan bentuk dehumanisasi tidak hanya dalam konteks ke-Indonesia-an, tetapi secara universal. Disamping itu, fenomena tersebut juga telah mendestruksi eksistensi kemanusiaan manusia sebagai sosok insan seutuhnya. Pasalnya, pemaknaan yang ada semata-mata direduksi absurd dalam dimensi ketubuhan yang artifisial tanpa melibatkan domain kejiwaan.
Dari hasil penelitiannya terhadap iklan komersial di empat majalah yakni Tempo, Gatra, Femina, dan Kartini periode 2007-2010 diketahui pula bahwa iklan yang muncul menunjukkan obsesi terhadap ketubuhan Indo, penggunaan bahasa Inggris, superlativisme, kecepatan dan percepatan, kemudaan, serta makanan Barat.
Kasiyan mengatakan kuatnya hegemoni postkolonial baik dalam iklan maupun pada esetetika seni dan kultural ke-Indonesia-an merupakan bentuk dari kegagalan bangsa Indonesia dalam menggagas dan mengkonstruksi histrois dan historiografis setetika san kebudayaan Indonesiasentris. Hal ini berpotensi menghilangkan daya dan enregi kreatif peradaban yang dimiliki bangsa Indonesia akibat segala infrastruktur peradaban yang tidak mampu diproduksi sendiri dan justru banyak mengkonsumsi produk kebudayaan Barat. “ Jika ini terus dibiarkan maka semakin lama Indonesia bukan hanya akan kehilangan identitas estetikanya saja, tetapi akan kehilangan identitas kultural ke-indonesia-annya,” papar pria kelahiran Ponorogo, 5 Juni 1968 ini.
Lebih jauh disampaikan Kasiyan, kuatnya konstruksi hegemoni postkolonial dalam estetika maupun kultural ke-Indonesia-an dikarenakan masih lestarinya imperium orientalisme di era postkolonial.Selain itu, berbagai nilai negatif kultural lokal warisan masa lalu dalam wujud budaya feodalisme dan patrenalisme turut memperkuat konstruksi problem postkolonialisme di Indonesia secara keseluruhan. (Humas UGM/Ika)