YOGYAKARTA – Mendirikan sebuah bisnis memang tidaklah semudah membalik telapak tangan. Punya ide, namun dengan alasan tidak punya modal sehingga tidak berani mengeksekusinya sama halnya ‘bermimpi’. Belajar dari mereka yang sukses dalam bisnis umumnya berani berusaha untuk menggapai impiannya. “Ide bisnis bagus tapi tidak dieksekusi dan dikembangkan sama saja bohong,” kata Chief Operating Officer dari PT.Global Digital Prima (GDP) Venture, Kusumo Martanto, dalam seminar ‘Venture capital as a startup booster’ di Auditorium Magister Management (MM) UGM.
Kusumo Martanto memberi tip dalam mendirikan bisnis startup. Salah satunya kemampuan dalam melihat peluang dan mampu menawarkan solusi baru bagi orang lain. Lalu, menjalankan dan membesarkan ide itu bukanlah pekerjaan mudah. “Setelah dapat ide sebaiknya diskusi dengan orang yang sudah menjalankan bisnis. Bukan tidak boleh memiliki angan-angan yang tinggi namun mimpi itu harus realistis,” imbuhnya.
Modal bukanlah masalah utama dalam mendirikan bisnis. Asalkan peluang bisnis tersebut memiliki peluang tumbuh besar di masa mendatang tentu banyak investor yang tertarik menanam modalnya. Pasalnya Investor tidak hanya melakukan investasi pada perusahaan yang go publik namun ada juga melirik perusahaan startup. Umumnya kerjasama pembiayaan modal ini dilakukan lewat modal ventura . “Dana investor digunakan untuk membesarkan perusahaan bukan masuk ke kantong pemiliknya, sehingga misi founder dalam membesarkan perusahaannya ingin diketahui investor,” katanya.
Kusumo menyampaikan pengalaman GDP Venture dalam melakukan pembiayaan modal perusahaan start up dimaksudkan berkembangkannya perusahaan yang bergerak dalam ekonomi digital di Indonesia. Dalam menjalankan misinya, GDP Venture mempertimbangkan komitmen founder, solusi market, infstaruktur fisik kantor, mulai dari ketersediaan internet, sistem keuangan, SDM, legacy, jaringan ke industri dan modal. “Kita selalu melihat komitmen founder untuk membesarkan perusahaan.Selain memiliki visi yang kuat, tujuan, target serta adanya analisis SWOT yakni riset,” katanya.
Perusahaan yang ditawari venture capital (VC) saat ini lebih kepada perusahaan yang sudah memiliki pertumbuhan penjualan yang cukup bagus dan sudah memiliki pelanggan tetap. Karena pembiayaan modal ventura ini memiliki risiko yang juga cukup besar. Pasalnya, pengalaman perusahaan VC di seluruh dunia, hanya 6 persen dari perusahaan yang mendapat modal ventura yang bisa go public, 41 persen perusahaan gagal. 33 persen dari perusahaan yang melakukan investasi VC tidak medapatkan apa-apa. “Belum banyak startup yang besar yang bisa diinvestasi VC di Indonesia sehingga lebih cocok menggunakan bisnis Inkubator,” ungkapnya.
Pendiri Kaskus, Andrew Darwis, mengaku perusahaan yang didirikannya sejak 2008 merupakan salah satu perusahaan yang mendapat pembiayaan modal lewat venture capital dari GDP Venture. Saat kaskus memiliki 2,5 juta member tahun 2008 sudah banyal perusahaan internasional seperti Yahoo, Google, dan Facebook ingin mengakusisi kaskus. Namun demikian, Andrew mengatakan pihaknya lebih memilih perusahaan nasional. “Semua investor ditolak, karena tidak sesuai visi misi kaskus. Kita ingin membuat komunitas besar, karena itu jika investor hanya berharap dapat balik modal dalam 2-3 tahun kita akan tolak. Kini kita bangga juga sampai saat ini kaskus tetap dimiliki orang Indonesia,” tuturnya.
Andrew menyebutkan anggota kaskus kini memiliki 7 juta member dan ada 18 juta pengguna. Para pengguna kaskus ini melakukan jual beli online saat pertamakali kaskus didirikan sehingga Andrew memiliki ide untuk menjadikan kaskus menjadi tempat penjualan online terbesar di Indonesia. “Tahu 2009 saja nilai transaksi jual beli di kaskus capai 40 juta dollar per bulan,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)