Para tokoh negeri dalam 15 tahun terakhir ini, dinilai telah mengabaikan pentingnya masalah ideologi bangsa. Akibatnya, timbul kesan ketiadaan arah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan telah menjadi jalan masuknya neo-liberalisme.
Menurut penggagas dan pendiri Aliansi Kebangsaan, Ir. Pontjo Soetowo kebijakan bersifat neo-liberalistik telah membiarkan persaingan bebas hampir di semua lini kehidupan dan menyebabkan hampir tidak adanya perhatian untuk kaum miskin. Akibat lebih lanjut, terjadi kesenjangan amat lebar dalam masyarakat serta merosotnya peringkat Indonesia dalam berbagai tolok ukur kesejahteraan, khususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan.
“Dua hal inilah, pendidikan dan kesehatan menjadi indikator penting dalam mengukur pemerataan pembangunan nasional. Oleh karena itu, kita jangan terlalu percaya pada angka-angka abstrak tentang rata-rata pendapatan perkapita, yang bisa mengaburkan kenyataan yang sesungguhnya,” ujarnya di Auditorium Masri Singarimbun, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Selasa (28/5).
Dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan Satmenwa UGM memperingati Hari Kebangkitan Nasional 2013 bertajuk “Pendidikan Antar Budaya Untuk Pemerataan Pembangunan Nasional, Pontjo Sutowo mengatakan terhadap aspek kesejahteraan rakyat sesungguhnya pada tataran konseptual telah dikembangkan dengan berbagai konsep pembangunan nasional. Bahkan pada tahun 1946, setahun setelah Proklamasi sudah mulai disusun sebuah rencana pembangunan nasional.
Dari perspektif historis, kata dia, kebijakan pembangunan nasional yang bisa dirancang dan dilaksanakan secara lebih terencana terkendali adalah semenjak Orde Baru, 1969 hingga pertengahan 1998. Dalam era inilah mulai dikembangkan sebuah strategi pembangunan berjangka panjang, yang dikenal dengan nama “Strategi Akselerasi Pembangunan Nasional 25 tahun”, yang dilaksanakan dalam rangkaian “Rencana Pembangunan Lima Tahunan” (Repelita) yang dirancang oleh Bappenas.
Dengan segala kelemahan, Pontjo Sutowo mengungkapkan Repelita dengan kebijakan Trilogi Pembangunan Nasional relatif berhasil mencapai sasaran, antara lain terlihat pada peningkatan taraf kesejahteraan rakyat, bukan hanya di daerah urban, namun juga di daerah perdesaan.
“Sayang dan prihatin, karena kebijakan dan strategi yang dikembangkan era Orde Baru terhenti secara mendadak mengiringi terjadinya krisis moneter di tahun 1997, dipaksakannya berbagai kebijakan ekonomi liberalistik oleh IMF,” jelas Ketua Umum DPP FKPPI.
Terkait terbengkelainya pendidikan antar budaya, Prof. PM. Laksono., Ph.D berpandangan kelalaian tersebut mungkin ada pada persoalan dalam diri. Karena itu, untuk mengubahnya perlu proses transformasi sosial. “Bisa dimulai dari cara berfikir kita sendiri,” katanya.
Pusat Studi Asia Pasific (PSAP) UGM lima tahun yang lalu, kata PM. Laksono, memberikan scholarship untuk studi antar budaya. Sayang, karena kekurangan dana program inipun untuk sementara berhenti.
“Sebagai universitas yang mengklaim universitas revolusioner, kita ingin mengajak merubah pola pikir yang sempit bagi para pengajar dan mahasiswa. Budaya dan bahasa daerah ini problem yang serius, karenanya kita memiliki program mengindonesiakan Indonesia. Jangan sampai kita dari Jawa bikin skripsi tentang Jawa, kampung sendiri, sesekali perlu keluar agak jauh untuk meneliti dan belajar budaya dan bahasa daerah lain,” tuturnya. (Humas UGM/ Agung)