Status Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai perguruan tinggi yang otonom baik dari sisi akademik maupun non-akademik disadari membawa berbagai konsekuensi logis bagi masyarakat. Sebagian masyarakat kuatir bahwa UGM akan menjadi perguruan tinggi yang komersial dalam mendidik anak bangsa sehingga mereka yang memiliki keterbatasan finansial tetapi potensial dari sisi akademik tidak dapat mengenyam pendidikan berkualitas di UGM. Kekuatiran tersebut logis, namun sangat tidak beralasan karena UGM senantiasa melaksanakan otonomi secara bertanggung jawab.
“Secara historis UGM merupakan Perguruan Tinggi yang otonom. Statuta menegaskan bahwa UGM telah menyandang bentuk badan hukum kepentingan masyarakat sudah sejak awal berdirinya pada tahun 1949. Sejak tahun 2003 UGM berstatus sebagai Perguruan Tinggi BHMN,” papar Sekretaris Eksekutif UGM, Drs. Gugup Kismono, MBA, Ph.D, di kampus UGM Sabtu (1/6).
Gugup menuturkan bahwa selama memiliki otonomi, secara empiris akses masyarakat kurang mampu secara ekonomi terbuka lebar. Jumlah mahasiswa yang berasal dari kalangan kurang mampu terus bertambah dari tahun ke tahun. UGM juga secara sistematis mengundang dan menambah porsi anak bangsa dari daerah yang termasuk 3T untuk masuk UGM. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang memberi status UGM sebagai PTN badan hukum (PTN bh) secara hukum menjamin otonomi UGM. Hal ini semakin memperkuat posisi UGM sebagai universitas nasional dan perjuangan untuk melakukan kiprahnya mendidik anak bangsa dengan potensi akademik tinggi dari semua lapisan masyarakat.
“Permohonan pembatalan UU Nomor 12/2012 jelas sangat potensial akan membatasi kemampuan UGM untuk menyediakan pendidikan berkualitas tinggi yang menjangkau berbagai lapisan masyarakat dari berbagai pelosok tanah air. Bahkan, tanpa jaminan otonomi akademik dan non-akademik dapat menyurutkan langkah UGM yang tengah dibangun untuk menjadi perguruan tinggi yang mengakar pada budaya nasional dan menjulang tinggi di kancah internasional. Oleh karenanya, otonomi harus tetap ditegakkan,” tegas Gugup.
Demi memperjuangkan otonomi, Kamis, 30 Mei 2013 di Ruang Sidang Utama Mahkamah Konstitusi, UGM bersama Universitas Indonesia (UI) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai PT BHMN maju menjadi pihak terkait dalam pengujian UU nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. UU ini diujikan dengan nomor perkara 103/PUU-X/2012 dan nomor 33/PUU-XI/2013. Dalam hal ini UGM menjadi pihak terkait pada pengujian yang kedua. “UGM maju sebagai pihak terkait karena akan dirugikan (potential injury) secara langsung hak konstitusionalnya apabila UU tersebut dibatalkan. UGM yang sejak kelahirannya dinyatakan sebagai Perguruan Tinggi badan hukum kepentingan masyarakat akan kehilangan statusnya jika UU ini dibatalkan,” ungkap Gugup.
Dalam sidang pleno yang dipimpin langsung oleh Ketua Mahkamah Konstitusi itu, hadir pimpinan UGM yang diwakili oleh Rektor, Prof. Dr. Pratikno M.Soc.Sc., Ketua Majelis Wali Amanat Prof. Dr. Sofian Effendi, MPIA, Ketua Senat Akademik Prof. Dr. Ir. Indarto, DEA, dan Ketua Majelis Guru Besar Prof. Dr. Ir. Susamto, M.Sc. Dalam persidangan tersebut UGM memberikan kuasa kepada tim hukum dari PKBH UGM yang dipimpin oleh Dr. Tata Wijayanta, S.H., M.Hum dan beranggotakan Aminoto, S.H., M.Si, Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu, S.H., LL.M, Tody Sasmitha Jiwa Utama, S.H., LL.M dan Dian Agung Wicaksono, S.H., LL.M.
Gugup memaparkan, dalam tanggapan yang disampaikan, UGM memberikan 4 dasar argumentasi yang menolak dalil para pemohon yakni tentang PTN bh, otonomi perguruan tinggi, pinjaman lunak dan pemisahan kekayaan. Yang pertama, PTN bh dalam UU Dikti tidaklah seperti Badan Hukum Pendidikan (BHP) pada UU BHP yang telah dibatalkan MK. BHP dibatalkan karena menyeragamkan jenis penyelenggara pendidikan, hal itu merugikan pendidikan yang dikelola oleh swasta. Dalam UU Dikti, PTN bh dimaksudkan sebagai fungsi penyelenggaraan bukan sebagai nomenklatur. Ketentuan yang ada didalamnya tidak melakukan penyelenggaraan, tetap diberikan alternatif pelaksanaan fungsi pendidikan melalui PTN Satuan Kerja dan PTN BLU. Kedua, otonomi Perguruan Tinggi. antara otonomi akademik dan non akademik adalah ibarat dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Otonomi akademik adalah ruh dalam sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Otonomi non akademik adalah institusionalisasi atau pelembagaan dari otonomi akademik sebagai substansi hakiki dari pendidikan tinggi. Otonomi akademik tanpa disertai dengan otonomi non akademik ibarat roh tanpa jasad. Otonomi akademik misalnya pada pengelolaan organisasi dan keuangan perguruan tinggi. Dalam argumentasi kedua ini UGM menegaskan Otonomi Perguruan Tinggi untuk mewujudkan democratic governance dalam pendidikan tinggi dan tidak akan menghambat akses mahasiswa baik secara finansial maupun geografis untuk mengenyam pendidikan tinggi.
Dasar argumentasi ketiga, tentang pinjaman lunak UGM menolak istilah yang digunakan pemohon sebagai dasar argumentasi. Yang ada dalam UU Dikti adalah pinjaman dana tanpa bunga yang jauh berbeda pengertiannya satu sama lain. Pinjaman lunak walaupun sedikit tetap ada bunganya. Di tengah keterbatasan pembiayaan yang ada, pinjaman tanpa bunga menjadi alternatif disamping skema beasiswa dan bantuan/pembebasan biaya pendidikan. Yang terakhir adalah dasar argumen tentang pemisahan kekayaan merupakan tindakan administratif semata dan menjadi konsekuensi logis dari PTN bh. Dalam argumentasi tersebut UGM memberikan data-data lengkap untuk menguatkan tanggapannya meliputi: Akreditasi Internasional, Aksesibiltas mahasiswa, prestasi internasional dan nasional, dan lain-lain. “Dari argumen-argumen ini dan bukti nyata yang ada, makin jelas bahwa UGM telah melaksanakan otonomi secara bertanggung jawab,” tandas Gugup. (Humas UGM)