YOGYAKARTA – Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM sekaligus anggota Pokja-Monev dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Dr. Elan Satriawan, mengatakan pemerintah memiliki tiga kebijakan penanggulangan kemiskinan, yakni, program bantuan sosial berbasis rumah tangga, program berbasis komunitas dan program pengembangan usaha mikro dan kecil. Ketiga program bertujuan melakukan penurunan laju pengurangan angka kemiskinan, pengurangan kerentanan kemisikanan yang masih tinggi dan meningkatnya ketidakmerataan.
Program bantuan sosial berbasis rumah tangga atau individu dalam bentuk penyaluran Bantun Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Program Keluarga Harapan (PKH), Jemkesmas, Raskin dan Bantuan Siswa Miskin (BSM). Namun dari hasil evaluasi program BSM, Elan mengatakan ditemukan berbagai permasalahan, diantaranya BSM diterima oleh seluruh kelompok pendapatan, BSM hanya menutupi 30 % biaya pendidikan, dan periode pendistribusian BSM belum mengikuti periode tahun ajaran. “Perlu ada perbaikan untuk meningkatkan efektifitas program dalam mengurangi angka kemiskinan,” kata Elan dalam seminar ‘Peningkatan Kualitas Pembangunan Daerah melalui Penerapan Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Bukti’ di Ballroom Hyatt Regency Hotel, Sabtu (1/6).
Persoalan ketepatan sasaran menjadi kendala penyaluran program BSM, menurut Elan menuturkan BSM SD dan SMP hanya mampu menjangkau rumah tangga miskin dan rentan dengan anak usia SD sebanyak 4 %. Sedangkan tingkat dan cakupan BSM untuk rumah tangga dengan anak usia SMA bahkan lebih rendah kurang dari 2 %. Elan menambahkan, bagi rumah tangga miskin, biaya pendidikan SMP atau SMA diperkirakan sekitar 30 % dari seluruh pengeluaran rumah tangga.
Diperbaikinya ketepatan waktu penyaluran BSM dapat membantu keberlanjutan sekolah siswa dari keluarga miskin. Perubahan kebijakan dan mekanisme baru BSM dilakukan lewat penetapan sasaran dari berbasis sekolah ke berbasis rumah tangga. Selain itu, peningkatan nilai bantuan untuk lebih mencerminkan kebutuhan siswa miskin.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Barat, Yohanis Piterson, menuturkan Sistem Informasi Pendidikan Berbasis Masyarakat (SIPBM) yang diterapkan di Sulawesi barat menurutnya mampu mengetahui jumlah anak putus sekolah. Bahkand Dari data tersebut diketahu jumlah anak tidak sekolah. Ia menconohkan, lewat SIPBM diketahui total anak yang tidak bersekoah di 14 kecamatan sebanyak 2.316 anak, bahkan alamat dan alasan anak tidak meneruskan sekolah diketahui sehingga memudahkan saat dilakukan intervensi.
Yohanis menambahkan, SIPBM tidak hanya menjawab tantangan pendidikan anak putus sekolah namun juga membantu penanggulan kemiskinan. Dari data itu, semakin memudahkan pemberian bantuan dari pemerintah dan sampai pada target yang benar. “Data memang mahal tapi membangun tanpa data jauh lebih mahal,” ujarnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)