Kehadiran media baru berbasis digital membuat informasi politik tidak hanya semakin masif,tetapi juga terdistribusi dengan cepat dan bersifat interaktif. Dengan karakteristiknya itu tidak sedikit aktor politik di sejumlah negara yang memanfaatkan media sosial seperti facebook dan twitter dalam proses kampanye politik.
“Seharusnya politikus dan aktor politik di Indonesia juga biasa membidik potensi era digital dalam melakukan komunikasi politik pada masyarakat. Misalnya dengan pemanfaatan social media seperti facebook dan twitter dalam proses kampanye politik,” kata Managing Director Asia PR dan Penulis Buku Political Branding and Public Relation, Silih Agung Wasesa, S.Psi., M.Si, Rabu (6/6) dalam seminar nasional ‘Prospek Komunikasi Politik di Media Baru: Kampanye Digital dan Kualitas Demokrasi’ di ruang seminar Pascasarjana Fisipol UGM.
Menurutnya pencitraan politik di era penggunaan media sosial akan memberikan kemungkinan adanya kampanye politik yang tidak lagi membutuhkan kerumunan orang di masa mendatang. Ketika era digital sudah diterapkan secara total oleh para aktor politik, maka akan ada suatu masa dimana proses kampanye politik maupun pemilihan di eksekutif maupun legislatif telah benar-benar digital dan terpantau secara real time online.
“Kedepan hanya diperlukan sebuah perangkat seperti laptop atau smart phone untuk dapat memantau politik dan voters behaviour,” ujarnya.
Silih menyebutkan media sosial memiliki posisi strategis untuk digunakan dalam proses kampanye politik. Pasalnya, di Indonesia pada 2013 ini terdapat sekitar 75 juta masyarakat pengguna internet. Sementara dalam pemilu 2014 mendatang, 63 persen pemilih adalah masyarakat yang tinggal di pulau Jawa dan 57 persen diantaranya adalah kaum muda yang melek media. Sehingga saat politikus atau partai politik fokus kampanye pada kaum muda yang melek media maka kemungkinan menangnya cukup besar. Fenomena tersebut menjadikan politisi saat ini mau tidak mau harus memanfaatkan twitter, facebook, maupun jejaring sosial lainnya.
Ditambahkan,dengan penggunaan media sosial untuk kampanye politik lebih menghemat dana kampanye. Pemakaian sosial media akan memangkas jauh biaya kampanye sampai 75 persen dan menghindari pembengkakan dana kampanye.
Founder & Director Political Wave dan Media Wave Analytics, Yose Rizal menuturkan hal senada. Menurutnya adanya media sosial memungkinkan pemerintah untuk menangkap aspirasi masyarakatnya terhadap suatu kebijakan. Salah satu yang dikembangkan adalah political wave yang merupakan alat pemantau percakapan di social media selama 24 jam nonstop. Misalnya memantau pilkada dan pemilu 2014, pembicaraan mengenai partai, pemetaan partai di Indonesia dan soal calon presiden.
Melalui political wave, lanjutnya, pemerintah akan lebih mudah melakukan komunikasi dan mendengarkan rakyatnya. Karenanya pemerintah sudah seharusnya mempunyai kekuatan untuk memanfaatkan teknologi ini karena suara rakyat bisa dipotret dari media sosial. Dibandingkan dengan metode kuesioner yang digunakan untuk mengukur partisipasi publik maupun pendapat publik atas kebijakan tertentu, political wave dipastikan lebih efisien karena apa yang dibicarakan di social media, bisa disajikan dalam bentuk grafik yang bisa diukur. Seperti dalam pilkada DKI diketahui 562 ribu account twitter membicarakan Jokowi dan 395 ribu membicarakan Foke.
“Bandingkan angka yang didapat dengan metode kuisioner. Suara sebanyak itu di media sosial, tidak mungkin kalau bukan suara aspirasi masyarakat,”tuturnya.
Sementara Dosen ilmu komunikasi UGM, Wisnu Martha Adiputra, S.IP., M.Si dalam kesempatan itu menyampaikan pemanfaatan media sosial dalam kampanye politik merupakan bentuk literasi media baru yang menunjukkan komunikasi politik berkualitas. Dalam hal ini warga tidak lagi diposisikan sebagai penonton, tetapi tetapi juga bisa mengungkapkan pendapatnya. Hanya saja yang terjadi saat ini literasi media di Indonesia kurang berjalan dengan baik.
“Sayangnya, literasi media kita kurang bagus. Padahal, apa yang terjadi di media sosial bisa menunjukkan realitas politik sesungguhnya dan masyarakat bisa ikut serta dalam proses komunikasi politik itu,” terangnya.
Untuk itu, lanjutnya, literasi media penting dilakukan untuk mewujudkan proses komunikasi politik yang berkualitas. Adapun lokus literasi media bisa dilakukan mulai tataran mikro meliputi individu, anak-anak dalam keluarga, siswa di sekolah, pembelajar di kampus, dan semua warga masyarakat, khusunya masyarakat marjinal. Selanjutnya lokus literasi pada tataran kelompk atau komunitas dan makro. Pada tahap awal literasi media difokuskan pada pengenalan media, kemudian di tingkat menengah dengan meningkatkan kecakapan dalam memahami pesan baik dalam proses, konteks, frameworks, maupun produksi nilai. Selanjutnya dalam tingkatan lanjut dengan membentuk pemahaman yang lebih baik dan kritis, serta pemberdayaan masyarakat.
Sementara ditengah-tengah maraknya media baru ini, Wisnu menyampaikan bahwa literasi media baru juga dibutuhkan agar pemahaman dan kecakapan masyarakat atas mediabaru meningkat. Pasalnya karakteristik media baru sangat berbeda dengan media cetak.
“Media baru menimbulkan konsekuensi pesan personal dan publik, konvergen, dan penghubung pada partisipan komunikasi dari mana saja,”katanya. (Humas UGM/Ika)