Dalam konteks historis perjalanan kepartaian di Indonesia, posisi partai di dalam atau di luar pemerintahan akan mempengaruhi karakter pembiayaan partai. Misalnya, pada tahun 1950-1958, partai-partai yang berkuasa menempatkan kader-kadernya dalam posisi strategis terutama terkait dengan kebijakan ekonomi. Dengan posisi strategis ini, partai-partai yang memiliki peluang untuk melakukan penggalangan dana dari negara untuk pembiayaan partai semakin menguat dengan merebaknya aksi perburuan rente.
Sebaliknya, ketika PDI pro Mega berada di luar pemerintahan dan melakukan aksi oposisional pada rezim Soeharto, maka akses pada sumber dana negara menjadi terputus. Keterputusan itu juga menjadi momen historis untuk melepaskan ketergantungan pada sumber dana negara, dan selanjutnya menyandarkan diri pada para pendukungnya.
“Pembiayaan gotong royong menjadi alternatif di tengah kelangkaan sumber daya,”papar staf pengajar S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM, AAGN. Ari Dwipayana pada ujian terbuka program doktor di kampus FISIPOL UGM, Sabtu (15/6).
Pada kesempatan tersebut Ari Dwipayana mempertahankan desertasinya yang berjudul Pembiayaan Gotong Royong Studi tentang Dinamika Pembiayaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada periode 1993-1999.
Ari menambahkan ketika posisi partai berubah dan PDI Perjuangan berada di pemerintahan, maka peluang untuk mengakses sumber dana eksternal semakin besar. Hal ini memunculkan pembiayaan ala partai kartel. Begitu pula dalam perkembangan berikutnya, ketika PDI Perjuangan tidak memiliki kursi di kabinet, dan mengambil pilihan sebagai partai oposisi, maka akses terhadap sumber dana kartel mulai berkurang, namun masih bisa tetap bisa menjalankan aksi rent seeking melalui kekuasaan di parlemen.
“Dalam konteks pengalaman Indonesia, posisi partai di dalam atau di luar pemerintahan menjadi penjelas penting dalam evolusi pembiayaan partai,”terangnya.
Studi yang dilakukan Ari juga menunjukkan bahwa pembiayaan gotong royong terbentuk dari dua faktor kunci: terputusnya akses partai di central office atas sumber dana dari negara serta menguatnya partisanship dan keswadayaan. Fenomena menguatnya partisanship mungkin ada dalam konteks Eropa Barat, tapi faktor terputusnya partai di central office dari sumber dana negara hanya muncul dalam konteks Indonesia.
“Personalisasi dan informalitas bukan hanya menjadi cara kerja di dalam partai, akan tetapi juga menjadi pola yang mempertautkan partai dengan sumber dana di luar partai,”pungkas Ari yang lulus dengan predikat sangat memuaskan itu (Humas UGM/Satria AN)