YOGYAKARTA – Kepala BKKBN, Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D., mengatakan program Keluarga Berencana (KB) dalam sepuluh tahun terakhir mengalami kemandekan karena tidak berhasil menekan angka ledakan penduduk bahkan tidak mampu mencapai target yang diproyeksikan sebelumnya. Pasalnya, lemahnya komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam mendukung program keluarga berencana, tidak ada kenaikan signifikan peserta KB baru, serta minimnya jumlah dan kualitas petugas penyuluh KB di lapangan.
Bila sebelumnya pemerintah telah menargetkan penduduk nasional pada tahun 2010 sebesar 234 juta, namun dari hasil sensus penduduk yang dilaksankan BPS menunjukkan 238 juta jiwa. “Ada kelebihan jumlah penduduk 4 juta jiwa di luar dari proyeksi,” kata Fasli Jalal dalam seminar ‘Pergeseran dari MDGs ke SDGs: Tantangan dan masalah yang dihadapi’ yang diadakan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM di Hotel Ambarukmo, Rabu (19/6).
Fasli Jalal yang baru dilantik sebagai Kepala BKKBN menggantikan Dr. Sugiri Syarief, menambahkan kenaikan peserta baru KB dalam lima tahun terakhir hanya naik sebesar 0,5 %. “Peserta KB mencapai 7,5 juta, tapi dari jumlah itu mayoritas adalah peserta lama yang hanya menjadi pemakai alat kontrasepsi baru,” imbuhnya.
Sedangkan petugas penyuluh KB di lapangan djumlahnya mengalami penurunan yang cukup besar yakni mencapai 50 persen dibanding pada tahun 1990-an. Bahkan infrastruktur program KB yang pernah berkembang justru tidak terpelihara dengan baik. “Saya melihat masih lemahnya kelembagaan dan kualitas SDM pengelolaan program KB dengan adanya otonomi daerah ini. Sehinga perlu ada penguatan komitmen kepala daerah,” katanya.
Dia sempat menyinggung, besarnya angka ledakan jumlah penduduk terjadi dalam kurun 10 tahun terakhir disebabkan angka kelahiran bayi mencapai 3,5 juta jiwa setiap tahunnya dan makin maraknya fenomena kawin muda. “Sekitar 40 % menikah di bawah usia 19 tahun,” ujarnya.
Dia menawarkan solusi untuk meningkatkan komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam mendukung program KB, yakni sosialisasi kepada para calon Bupati, calon Gubenur dan calon Presiden mengenai wawasan kependudukan. Bahkan kebijakan kependudukan dituangkan dalam isi kampanye para kandidat. “Ada penurunan minat isu KB padahal siapa pun kandidat yang menang, isi kampanye mereka menjadi rencana pembangunan lima tahun,” katanya.
Kepala Bapeda DIY, Drs Tavip Agus Rayanto, mengatakan kenaikan peserta KB di DIY mencapai 1 persen per tahun. Meski lebih tinggi dari angka nasional, dia menuturkan dari 15 target pembangunan MDGSs 2015 hanya target pengentasan kemiskinan yang belum tercapai. Saat ini angka kemiskinan di DIY mencapai 16,08 persen. Kendati angka kemiskinan termasuk tinggi namun angka harapan hidup dan indeks pembangunan manusia di DIY termasuk yang paling baik di tingkat nasional.
Tavip menuturkan selama sepuluh tahun terakhir, setiap tahunnya pemprov DIY hanya mampu mengentaskan 0,41 persen penduduk miskin. “Pasca diberlakukannya UU Keistimewaan, Gubernur DIY menargetkan menurunkan angka kemiskinan hingga 2 persen per tahun,” ujarnya.
Salah satu kendala pengentasan kemiskinan di DIY diakui Taviv karena program yang dilaksanakan SKPD kabupaten/kota tidak tepat sasaran rumah tangga miskin. Tahun ini, program pengentasan kemiskinan yang akan dilaksanakan pemerintah propinsi adalah pemberian bantuan usaha kepada 46 ribu rumah tangga miskin. Bantuan sebesar Rp 1 juta rupiah per rumah tangga miskin produktif ini dikelola secara berkelompok dengan melibatkan 24 perguruan tinggi lewat program pemberdayaan masyarakat. “Pemerintah telah menyiapkan anggaran Rp 46,58 milyar untuk program ini,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)