Bourdieu telah menyediakan banyak fasilitas dalam mengkaji sastra, yang sebelumnya tidak cukup disediakan oleh teori sosial sastra. Kajian sosial sastra sebelumnya berkutat pada dinamika bolak balik antara teks dan masyarakat, antara objektif dan subjektif, antara yang intrinsik dan ekstrinsik, antara yang internal dan eksternal. Akan tetapi, dinamika itu ditempatkan secara terpisah dan dalam hubungan yang tekstual.
Bourdieu berusaha keluar dari situasi itu. Ia termasuk yang menentang keterpisahan antara pengetahuan teoretis dan pengetahuan praktis.
“Bourdieu justru mengintegrasikannya secara penuh dan mengajak kita berdiri secara sinergis dalam berbagai posisi yang ‘terlibat’ dalam masalah yang sedang dikaji,”tutur staf pengajar Prodi S2 Ilmu sastra FIB UGM, Dr. Aprinus Salam dalam diskusi bulanan S2 Ilmu Sastra di FIB UGM, Rabu (19/6). Diskusi dipandu oleh Prof. Dr. Faruk HT.
Perhatian utama Bourdieu yaitu proyek intelektualnya lebih berorientasi untuk membongkar dinamika budaya dominasi dan berbagai kemungkinan yang berkaitan terjadinya hierarkisasi legitimasi (kekerasan simbolik) dalam berbagai arena kehidupan. Situasi tersebut menurut Aprinus secara keseluruhan berpengaruh terhadap para agen dalam berstrategi dan memperaktikkan kehidupannya, tidak terkecuali para agen dalam arena sastra di Yogya, seperti Iman Budi Santoso, Umbu Paranggi, Emha Ainun Nadjib, Ashadi Siregar, Rendra, Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, Bakdi Soemanto, dll.
Aprinus mencontohkan dalam perspektif Bourdieu, kelebihan sastrawan Emha Ainun Nadjib misalnya dia mampu dan piawai menerobos dan mempermainkan doksa. Dalam masyarakat Yogya khususnya, dan Indonesia umumnya, kemampuan menerobos dan mempermainkan doksa, dalam tekanan politik yang otoriter, merupakan strategi dan kemampuan yang langka.
“Didukung mayoritas masyarakat Islam, dengan keahlian melafaskan ayat-ayat suci, dan retorika dan nyanyian, Emha menduduki posisi posisi tinggi tinggi dalam arena sastra dan budaya, mungkin juga politik. Dibandingkan Linus Suryadi AG, posisi itu yang sama sekali tidak didapatkan oleh Linus,”imbuh Aprinus.
Dengan demikian, mengkaji posisi-posisi dan strategi perlu mempertimbangkan masyarakat seperti apa strategi dan posisi itu dimungkinkan. Dalam pandangan Aprinus yang menonjol dari kajian (sosiologi) sastra dalam perspektif Bourdieu yaitu membuka peluang untuk bertanya apa, bagaimana, dan mengapa seseorang memiliki legitimasi dan ‘sukses’ menjadi sastrawan atau seniman.
Seperti diketahui Pierre Bourdieu adalah sosiolog Perancis dan penulis yang dikenal karena pandangan politiknya yang vokal dan keterlibatannya dalam isu-isu publik. Bourdieu adalah salah satu pemain terkemuka dalam kehidupan intelektual Perancis. Ia menjadi “referensi intelektual” bagi gerakan yang menentang neo-liberalisme dan globalisasi, yang berkembang di Perancis dan bagian dunia lain selama 1990-an.
Bourdieu merintis kerangka investigatif dan terminologi seperti modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik, serta konsep habitus, ranah (field) atau lokasi, dan kekerasan simbolik untuk mengungkapkan dinamika relasi kuasa dalam kehidupan sosial (Humas UGM/Satria AN)