Perkara pengujian Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) sampai pada tahapan baru, yaitu mendengar keterangan Ahli dan Saksi yang diajukan oleh Pihak Terkait, Pemerintah, serta Pemohon pada persidangan keempat Perkara Nomor 033/PUU-XI/2013 perihal pengujian UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Selasa (18/6) di Gedung Mahkamah Konstitusi.
Sekretaris Eksekutif UGM, Gugup Kismono mengatakan pada tahapan ini UGM sebagai salah satu Pihak Terkait secara aktif memantau perkembangan persidangan. Tercatat ada 6 eks-PT BHMN sudah mengajukan diri sebagai Pihak Terkait dalam perkara tersebut, yaitu UGM, IPB, UI, ITB, UPI dan Unair.
“UGM menilai UU Dikti bukan semata-mata penting bagi eksistensi institusi pendidikan tinggi, namun juga terkait kemajuan dan peningkatan pendidikan tinggi di Indonesia,”tegas Gugup, Rabu (19/6).
Gugup menjelaskan pada persidangan tersebut Pihak Terkait UI, ITB dan UPI hanya dipersilakan untuk menyampaikan pendapat tertulis oleh Majelis Hakim, agar persidangan dapat efektif untuk menggali keterangan Ahli dan Saksi yang diajukan.
Ahli yang diajukan oleh Pemohon, yaitu Prof. Dr. B.S. Mardiatmadja, S.J., menyatakan bahwa terdapat kesalahan penamaan terhadap UU Dikti. Di dalam UU Dikti lebih banyak terkait organisasi dan pengelolaan atau manajerial pendidikan tinggi dari pada aspek keilmuan, sehingga lebih tepat bila diberi nama UU Perguruan Tinggi. “Meskipun demikian pendidikan tinggi selain membutuhkan otonomi akademik juga butuh otonomi pengelolaan,”kata Mardiatmadja.
Sementara itu pemerintah mengajukan Saksi dan Ahli, yaitu Prof.Dr.Ir. Rizal Z. Tamin sebagai Saksi pelaku pengelola pendidikan tinggi pada ITB dan Dr. Ade Armando, M.Sc. sebagai Ahli dalam bidang Komunikasi Politik.
Saksi Prof.Dr.Ir. Rizal Z. Tamin mengutarakan pengalamannya dalam pengelolaan pendidikan tinggi di ITB yang mampu meningkatkan kualitas pendidikan tinggi melalui sinergi antara otonomi akademik dan otonomi pengelolaan dalam wadah badan hukum. Wacana membuat institusi pendidikan tinggi sebagai badan hukum juga sudah melalui kajian yang cukup mendalam sejak tahun 1997.
“Jika dilihat sejarahnya, Prof. Mr. Dr Soepomo dan Prof. Mr. R. Soenario Kolopaking menegaskan kebutuhan pendidikan tinggi menjadi badan hukum adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan,”tutur Rizal.
Dalam perspektif yang lebih praksis kekinian, Dr. Ade Armando, M.Sc. menyatakan bahwa pada intinya UU Dikti lebih mendorong pada 3 hal, yaitu keadilan sosial, peningkatan mutu pendidikan, dan demokratisasi. UU Dikti bukan hanya mengatur, namun mewajibkan PTN untuk memberikan akses bagi mahasiswa miskin minimal sebanyak 20%.
“Tentu menjadi sangat dekonstruktif bagi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa bila kemudian UU Dikti dicabut oleh Mahkamah Konstitusi,”terang Ade.
Pada persidangan itu Pihak Terkait IPB menghadirkan 2 (dua) orang Ahli, yaitu M. Fajrul Falaakh, S.H., M.A., M.Sc. sebagai Ahli Hukum Tata Negara dan Agus Pambagyo sebagai Ahli Kebijakan Publik. Pada kesempatan itu, M. Fajrul Falaakh, S.H., M.A., M.Sc. menegaskan bahwa Pemohon telah mengalami kekeliruan yang teramat fatal karena dengan meminta UU Dikti dicabut, maka seolah-olah meminta Mahkamah Konstitusi untuk melarang kewajiban konstitusional negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Fajrul menilai bukan wewenang Mahkamah Konstitusi melarang negara untuk membentuk, mengesahkan, atau mengatur badan hukum. Pemohon juga terlalu tergesa-gesamenyatakan bahwa UU Dikti serupa dengan UU BHP, padahal UU Dikti memberikan pilihan pengelolaan, yaitu PTN sebagai Satker Kemendikbud, PTN dengan PPK-BLU, PTN bh dan PTS.
“Jika kemudian UU Dikti dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi maka akan menghilangkan rambu-rambu pengelolaan pendidikan tinggi yang mengakibatkan PTN yang ada akan berubah menjadi Perguruan Tinggi Kedinasan di bawah Kemendikbud. Padahal Kemendikbud pun tentu tidak sanggup bila harus menerima seluruh lulusan PTN yang ada saat ini,”jelas Fajrul.
Fajrul Falaakh juga menegaskan bahwa argumentasi Ahli Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang, S.H., M.H. sebagai Ahli yang dihadirkan Pemohon pada sidang sebelumnya, yang menyatakan bahwa dalam UU Dikti terdapat paradoks rasionalitas yang menimbulkan contradictio in terminis adalah tidak tepat. Pemberian tugas kepada badan hukum melalui UU, kata Fajrul, tidak akan membuat badan hukum menjadi kehilangan tujuan utama dari pembentukan badan hukum tersebut.
Meskipun suatu entitas sudah menjadi badan hukum, maka tidak hilang kewajiban badan hukum tersebut pada peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini terkait pembebanan suatu tugas tertentu. Ia mencontohkan Mr. Assaat sebagai Acting Presiden RI di Yogyakarta pada tahun 1950 mengatur bahwa UGM dapat berstatus badan hukum “masyarakat-hukum- kepentingan” atau publiekrechtelijke doel corporatie yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, yang sampai saat ini masih menjadi badan hukum dan melaksanakan fungsi sebagai institusi pendidikan tinggi.
Senada dengan itu Agus Pambagyo menilai terlalu dini menguji publik UU Dikti karena belum diimplementasikan. Dengan mekanisme pengawasan yang terdapat pada UU Dikti, tidak beralasan kekhawatiran PTN badan hukum akan menjadi institusi yang berorientasi profit karena tetap harus taat terhadap sifat nirlaba yang diatur dalam UU Dikti.Selain itu jika hal tersebut terjadi maka UU Dikti telah menyediakan instrumen hukum untuk menghukum PTN tersebut.
“Ketentuan minimal 20% mahasiswa miskin adalah bentuk jaminan PTN badan hukum tidak secara liar diliberalisasi dan dikomersialisasi oleh negara melalui UU Dikti,”kata Agus.
Merujuk pada penjelasan-penjelasan Ahli dan Saksi di atas, Gugup melihat bahwa UU Dikti sejatinya merupakan UU yang lebih demokratis, humanis, dan relevan dengan upaya memeratakan pendidikan untuk seluruh anak bangsa. Selain itu, dari aspek hukum UU Dikti sama sekali tidak bertentangan dengan konstitusi dan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Perdebatan lebih lanjut mengenai UU Dikti dalam persidangan Mahkamah akan dilaksanakan kembali pada hari Rabu, 3 Juli 2013 (Humas UGM/Satria AN)