YOGYAKARTA – Rencana pemerintah dalam waktu dekat menaikkan harga BBM pasca disetujuinya APBN-P oleh DPR pada senin (17/6) menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Tidak terkecuali dengan para akademisi. Pengamat Ekonomi UGM. Dr. Rimawan Pradipto menilai alasan pemerintah dan DPR untuk menaikkan harga BBM hanya berdasar kepentingan politis menjelang pemilu bukan didasarkan pada asumsi untuk mengurangi beban anggaran subsidi BBM di APBN. “Kebijakan menaikkan harga BBM sekarang lebih kepada hasil kerja para politisi yang bermain dengan kebijakan yang membebani rakyat,” kata Rimawan dalam Diksusi ‘Ekonomi Indonesia Tersandera BBM’ di Gedung Pertamina Tower FEB UGM, Rabu (19/6).
Rimawan sendiri mengaku dirinya sepakat bila sudah selayaknya harga BBM dinaikkan. Namun demikian, ia tidak sependapat bila harga BBM dinaikkan secara drastis. Sebelumnya rekomendasi para akademisi UGM, ITB dan UI pada tahun 2011 sudah mengusulkan kepada pemerintah dan DPR agar menaikkan harga BBM secara bertahap yakni Rp 500/liter setiap tanggal 1 April. Kenaikan tersebut diharapkan tidak membebani rakyat kecil dan tidak menimbulkan kontra begitu luas di masyarakat. “Tapi usulan tersebut ditolak,” ujarnya.
Rimawan mengatakan subsidi BBM di APBN memang membebani. Jumlahnya semakin bertambah dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009, subsidi BBM mencapai Rp 45 T, lalu meningkat drastis hingga Rp 209 T pada APBN-P 2013. Namun pada kenyataannya, realiasasi subsidi di lapangan melebihi dari yang diproyeksikan di APBN-P. Subsidi BBM di APBN-P pada tahun 2011, misalnya, sebesar Rp 129,7 T namun realisasinya meningkat menjadi Rp 165 T. Bahkan pada tahun 2012, subsidi BBM yang seyogyanya Rp 123,6 T namun realisasinya mencapai Rp 211,9 T.
Senada, pengajar ilmu ekonomi FEB UGM, Akhmad Akbar Susamto, SE., M.Phil mengatakan kenaikan harga BBM tahun ini merupakan bagian dari hasil transaksi politik kelompok berkuasa dan oposisi di luar pemerintah. “Dua-duanya mencari pencitraan,” ujarnya.
Menurutnya, masa mendatang perlu dilakukan sebuah mekanisme baku bagi pemerintah untuk menaikan harga BBM dengan menggunakan alasan dengan berbagai indikator seperti adanya kenaikan harga minyak internasional, keperluan efisiensi anggaran, dan mekanisme pengelolaan migas, “Nantinya perlu diputuskan siapa yang berhak ambil kebijakan itu, setelah diputuskan perlu pertanggungjawaban, jangan seperti sekarang (kenaikan harga BBM) kehilangan momentum,” katanya.
Direktur Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB), FEB UGM, Prof. Dr. Sri Adiningsih mendesak pemerintah untuk segera mengambil keputusan terkait dengan harga BBM bersubsidi untuk menghindari ketidakpastian perekonomian nasional. “Jangan sampai mengganggu stabilitas ekonomi makro,” katanya.
Adiningsih menambahkan kondisi perekonomian Indonesia tahun ini menurut prediksinya mengalami instabilitas ekonomi dan penurunan laju pertumbuhan ekonomi karena masih menghadapi ketidakpastian kelanjutan kebijakan moneter longgar dari bank sentral Amerika Serikat, Jepang dan Eropa. “Gama Leading Economic Indicator memprediksi penurunan laju pertumbuhan ekonomi selama jangka pendek ini,” ungkapnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)