YOGYAKARTA – Mahasiswa UGM membuat briket dari ‘onggok’ ampas limbah aren. Briket yang diberi nama “Briquette la Bendo” bermula dari keprihatinan Yoga Prisusatyo, M. Ridwan Arif Cahyono, Yulfa Intan Yuraida, Yudia Tirta Karunawardani dan Estri Pamungkasih atas minimnya pengembangan sumber bahan bakar alternatif biomassa. Dibimbing dosen Teknik Fisika, Ahmad Agus Setiawan, Ph.D., para mahasiswa ini mencoba mengolah ampas aren tersebut melalui kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Pengabdian Masyarakat.
Kepada wartawan, Jumat (21/6), Yoga Prosusatyo mengatakan awal mulanya mereka membuat briket ampas aren ini setelah menyaksikan limbah onggok dari 25 industri pengolahan aren di dusun Bendo dan Margoluwih, Desa Daleman, Tulung, Klaten. Umumnya limbah olahan aren ini dibuang begitu saja di sungai. Selain mengganggu estetika, limbah ini juga mulai mengganggu kualitas air dan udara setempat. Berdasarkan hasil penelitian mereka, kualitas air di sungai melebihi batas toleransi pencemaran air.Bahkan di sekitar tempat pembuangan ampas tercium bau yang tidak sedap. “Di dusun tersebut, tepung aren dimanfaatkan untuk pembuatan mie, cendol dan olahan lainnya. Tapi ampasnya dibuang begitu saja,” kata Yoga.
Pengembangan briket ampas aren sebagai sumber bahan bakar energi alternatf biomassa ramah lingkungan diakui Yoga memiliki keunggulan yang tidak kalah dibanding sumber bahan bakar minyak tanah maupun gas elpiji. Selain murah, praktis, mudah menyala dan briket ini siap pakai. “Tidak banyak asap pembakaran sehingga tidak mencemari lingkungan dan nyala apinya pun bagus,” katanya berpromosi.
Bukan hanya itu saja, sisa abu dari pembakaran briket yang dijual dengan harga Rp 1.500 per kilogram ini, bisa dimanfaatkan untuk campuran semen untuk industri pembuatan batu bata maupun untuk pembuatan kompos.
Estri Pamungkasih, salah satu anggota tim yang lain, menuturkan proses pembuatan briket ini menggunakan bahan dasar utama ampas onggok, ditambah tepung kanji dan air. Untuk bisa menjadi briket, ampas aren ini harus melalui proses pengeringan, pengarangan (pirolisis), pencampuran, pencetakan dan pengeringan akhir.
Estri menceritakan, ampas onggok yang dihasilkan dari industri pengolah aren biasanya masih basah karena merupakan sisa hasil penyaringan dengan menggunakan air. Ampas yang masih basah tersebut dikeringkan terlebih dahulu sampai kering. Pengeringan membutuhkan 2-3 hari untuk mengurangi kadar air pada ampas. Lalu dilakukan pengarangan atau pirolisis dengan tempetarur minimal 500oC. “Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk proses ini 4-5 jam apabila menggunakan api dan 8 jam apabila menggunakan listrik,” ungkapnya.
Setelah proses pirolisis selesai dan dihasilkan arang, arang ini kemudian dicampur dengan perekat. Arang ampas onggok biasanya masih dalam bentuk serabut-serabut sehingga agar hasilnya lebih bagus maka perlu di hancurkan terlebih dahulu. Pencetakan dilakukan dengan menggunakan alat pencetak briket dengan tekanan yang diberikan sebesar 100 gr/cm2.
Briket yang dihasilkan dari ampas onggok ini berdasarkan hasil pengujian yang disesuaikan dengan standar SNI untuk briket arang kayu, sudah memenuhi batas minimal standar seperti kadar air, kadar volatile, kadar karbon terikat dan nilai kalor . Hanya saja kadar abu untuk briket ampas onggok belum memenuhi standar SNI. “Keunggulan dari briket ini adalah harganya murah karena bahan bakunya tidak perlu membeli dan tersedia banyak. Kedepannya pun juga masih banyak mengingat industri pengolahan aren ini juga akan terus berjalan,” kata Estri. (Humas UGM/Gusti Grehenson)