YOGYAKARTA – Terdapat dominasi kelompok mayoritas atas kelompok minoritas dalam proses pembentukan kebijakan Peraturan Bersama Menteri (PBM) 8 dan 9 tahun 2006 tentang pedoman kepala daerah dalam pengelolaan kerukuanan umat beragama, pembentukan forum kerukunan umat beragama dan pendirian sarana ibadah. Dalam proses perumusan kebijakana ini, kebijakan peraturan pemerintah mengikuti logika berpikir kelompok mayoritas. Demikian simpulan penelitian disertasi Muchlis Ari Handy, S.Ag., M.Hum dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Sabtu (22/6).
Mantan sekretaris Forum Kerukunan Umar Bergama Provinsi Malutu Utara 2007-2012 ini mengatakan kebijakan pengelolaan keragaman yang mengacu pada kesadaran multikulturalisme masih ditentukan batasannya berdasar pada kultur mayoritas. “Akibatnya, pengelolaan keragaman, kesadaran serta batasan multikulturalisme juga mengikuri kultur dominan dan amayoritas,” katanya.
Dia menambahkan kebijakan pengelolaan keragaman selama ini masih berorientasi pada nilai praktis sehingga dikhawatirkan mengarah pada separatis multikulturalisme atau pluralisme terpecah. Pengabaian pemerintah terhadap argumentasi rasional minoritas dan mendukung nilai praktis kelompok mayoritas dapat dipahami adanya keinginan kuat pemerintah terhadap dukungan praktis kelompok mayoritas agama.
Dalam disertasinya, Muchlis mengusulkan agar diperlukan adanya pendidikan multikultur dimasukkan pada kurikulum pendidikan sehingga sikap hidup berdampingan dapat tumbuh melalui dunia pendidikan sejak dini. “Mengenmbangkan budaya tersebut dalam internal umat beragama dalam khutbah maupun ceramah agama serta pengajaran masing-masing agama,” katanya.
Adapun perlindungan minoritas, menurutnya dibutuhkan kebijakan pemerintah yang dapat menyeimbangkan hak mayoritas dan minoritas agar terhindar dari ketidakadilan dan diskriminasi. “Negara sebagai lalu lintas pengatur, diharapkan tidak berpihak meskipun tatanan sosial didominasi kalangan mayoritas,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)