Pada akhir-akhir dekade ini, kehidupan beragama di Indonesia ditandai dengan semakin beragamnya paham keagamaan, sejumlah gerakan keagamaan baru bermunculan di luar tradisi agama yang mainstream, seperti Ahmadiyah, Komunitas Eden, atau juga praktik salat dwibahasa Yusman Roy, dan lain sebagainya. Munculnya gerakan-gerakan keagamaan baru (new religious movements) tersebut memang memicu pro dan kontra dalam pandangan masyarakat.
Di satu sisi, ia dianggap penyimpangan dari arus utama tradisi agama yang telah mapan. Sementara di sisi lain, ia justru dianggap sebagai respons kekecewaan terhadap agama mainstream yang dianggap tidak lagi berpihak pada kepuasan para pencari kenikmatan spiritualitas (spirituality seekers).
“Para pencari kenikmatan spiritualitas ini menilai agama-agama mainstream telah gagal memberi ruang bagi perkembangan mental spiritualitas sehingga mereka mencari cara lain untuk memuaskan spiritualitas yang diinginkan,”papar Mustaqim Pabbajah dalam ujian terbuka program doktor Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana, Selasa (25/6).
Dalam kesempatan itu Mustaqim mempertahankan disertasinya yang berjudul Gerakan Islam Non-Mainstream di Indonesia: Studi tentang Jamaah An-Nadzir di Sulawesi Selatan .
Salah satu gerakan keagamaan tersebut adalah Jamaah An-Nadzir, yang dikenal sebagai salah satu kasus gerakan Islam non-mainstream di Sulawesi Selatan. Gerakan ini dalam prosesnya berhasil menjalankan dan melangsungkan ideologi gerakannya.
Dari penelitian Mustaqim terungkap bahwa dalam praktik keagamaan, An-Nadzir secara metodologis memperlihatkan gerakan yang berbeda dengan arus utama, dan sebagian masyarakat masih memberikan stigma negatif terhadap mereka, tetapi secara teologis, hingga saat ini belum ada alasan untuk menyatakan jamaah An-Nadzir sebagai kelompok yang sesat.
“Mereka tidak melanggar atau keluar dari dasar teologi Islam pada umumnya, tetapi hanya berbeda dalam hal ideologi,”kata staf pengajar di Universitas Islam Makassar itu.
An-Nadzir dalam melangsungkan misi gerakan, berupaya menghidupkan semangat kenabian dalam jamaah, artinya tidak mengagendakan dakwah keluar. Sifat mereka cenderung ekslusif, namun tetap terbuka dan akomodatif; ekslusif dalam hal ajaran agama, tidak ada dialog untuk persoalan keagamaan, namun terbuka dalam hubungan ekonomi dan sosial. “Dengan kondisi ini maka benturan antara jamaah An-Nadzir dengan masyarakat bisa dihindari. Selain itu banyak anggota jamaah yang bekerja di kebun dan sawah milik masyarakat lokal,”tuturnya.
Salah satu sikap positif gerakan ini tidak menjadikan pendirian negara Islam sebagai agenda perjuangan, sehingga menolak penggunaan jalur politik, namun lebih menitikberatkan nilai Islam pada kepentingan sosial ekonomi. Meskipun bersifat pasif dalam penyebaran ajaran, namun An-Nadzir tetap terbuka dan menerima siapapun yang datang berkunjung, bertamu, dan bertanya tentang pemahaman keagamaan.
“An-Nadzir tidak ingin melakukan penetrasi terbuka kepada pihak luar, tetapi terus melakukan penguatan kapasitas internal jamaah melalui berbagai aktivitas sosial dan keagamaan,”pungkas Mustaqim (Humas UGM/Satria AN)