YOGYAKARTA – Pemerintah disarankan untuk mengurangi kebijakan impor pangan kendati kebijakan itu diambil untuk meningkatkan ketersediaam pangan. Pasalnya, kebijakan impor pangan dinilai lebih berpihak kepada pengusaha dan importir dibanding pada petani. Sehingga diperlukan upaya peningkatan luasan lahan pangan dan pengembangan industri hulu dan industri hilir pertanian. “Kebijakan impor pangan perlu ditinjau kembali karena pemerintah terkesan tidak ada usaha untuk menghentikan dan mengurangi impor pangan,” kata Peneliti Pusat Pangan dan Gizi UGM, Prof. Dr. Ir. Umar Santoso, M.Sc., dalam seminar ‘Ketahanan Pangan yang Berdaulat dan Mandiri’ yang diselenggarakan Majelis Guru Besar (MGB) UGM, kamis (4/7).
Dikatakan Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM ini, ketersediaan pangan di masyarakat didominasi pangan impor. Oleh karena itu ia menyebutkan kedaulataan dan kemandirian pangan belum ditegakkan. Hal ini disebabkan komitmen pemerintah untuk menegakkan kedaulatan pangan dirasakan masih sangat minim. “Semua butuh political will yang kuat jika pemerintah ingin menegakkan kedaualan pangan di negeri ini,” katanya.
Selain persoalan pangan, ketersediaan pangan dalam bentuk kalori ditenggarai belum merata, bahkan akses masyarakat terhadap pangan masih sangat buruk. Umar Santoso mengatakan sekitar 48 % penduduk kelebihan asupan kalori, sedangkan 26 persen penduduk kekurangan kalori karena faktor kemiskinan. Rendahnya aksesibilitas pangan tersebut mengancam penurunan komsumsi makanan yang beragam, bergizi-seimbang dan aman, “Kekurangan asupan gizi ini mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan kesehatan,“ katanya.
Pengamat ekonomi pertanian UGM, Prof. Dr. Ir. Masyhuri mengatakan penurunan produksi pangan nasional disebabkan ketersediaan lahan pertanian yang masih sangat minim. Rata-rata petani di Indonesia hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar. “Makin lama skala usaha pertanian mereka makin mengecil,” imbuhnya.
Kondisi sebaliknya, di Negara Thailand rata-rata penguasaan lahan mencapai 4 hektar per satu orang petani. Sedangkan di Amerika Serikat dan Australia penguasaan lahan oleh petani mencapai rata-rata 200 hektar.
Disamping faktor ketersediaan lahan, petani juga dihadapkan pada penguasaan teknologi yang cenderung stagnan dan belum berkembangnnya industri hulu dan hilir produk pertanian.
Yang lebih menyedihkan, tambah Masyhuri, kredit perbankan di sektor pertanian masih sangat sangat rendah yakni 5,5% dari total kredit yang dikucurkan perbankan yang mencapai Rp 149 Tiliun. Namun demikian kredit di sektor pertanian tidak semuanya disalurkan ke komoditas pangan melainkan pada komoditas kelapa sawit. “Komoditas padi baru, pembibitan dan budidaya sapi potong serta holtikultura masih sangat minim,” ujarnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)