JAKARTA – Persidangan pengujian UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan tinggi kembali dilaksanakan di Mahkamah Konstitusi, Rabu (3/7) dengan agenda pemeriksaan Ahli dan Saksi dari pihak Pemohon dan Pihak Terkait. UGM dalam kedudukannya sebagai Pihak terkait mengajukan mantan Hakim Konstitusi, Dr. Maruarar Siahaan, S.H., M.H. sebagai Ahli, sedangkan Universitas Pendidikan Indonesia mengajukan mantan Ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., MCL.
Selain itu, terdapat Pihak Terkait baru yang mengajukan diri dalam Perkara Nomor 33/PUU-XI/2013, yaitu Universitas Airlangga dan Perwakilan 18 Staf Pengajar Universitas Indonesia. Perwakilan sivitas akademika UI mengajukan Ahli, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Prof. Dr. Emil Salim, S.E., M.A., yang pernah menjabat sebagai anggota Majelis Wali Amanat (MWA) UI pada tahun 2007-2012. Sedangkan, Pemohon mengajukan 3 orang saksi, yaitu Alldo Fellix Januardy dari Universitas Indonesia (UI), Muhammad Helmy dari Universitas Negeri Makassar (UNM), dan Nurul Pratiwiningrum dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
Pada kesempatan pertama, Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, Dr. Akil Mochtar, S.H., M.H., mempersilakan saksi untuk menyampaikan keterangan. Saksi pertama, Alldo Fellix Januardy menyampaikan pelaksanaan pendidikan di UI yang dinilai tidak transparan dan memberatkan mahasiswa UI. Terlebih saksi dari UI mengkritik adanya Keputusan MWA UI yang mendefinisikan pendidikan sebagai unit usaha akademik dengan tujuan menghimpun dana. Meskipun, yang bersangkutan adalah anggota MWA dari Unsur Mahasiswa. Selanjutnya, saksi Muhammad Helmi dari UNM justru menceritakan mengenai minimnya fasilitas di UNM. Terakhir, saksi Nurul Pratiwiningrum, menceritakan bahwa dia pernah menjadi mahasiswa salah satu Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN), namun karena kesulitan membayar biaya kuliah, yang bersangkutan memutuskan untuk mundur, dan akhirnya menjadi mahasiswa UGM hingga saat ini.
Merespon hal-hal yang disampaikan oleh saksi, Kepala Kantor Hukum dan Organisasi UGM, Aminoto, S.H., M.Si., seusai sidang menyatakan bahwa keterangan yang diuraikan oleh saksi adalah persoalan kasuistik yang spesifik terjadi di satu universitas dan tentunya tidak dapat dipersamakan akan terjadi di universitas lain. “Praktik yang terjadi di UGM menunjukkan hal yang berbeda, terlihat dari contoh kasus saksi Pemohon, Nurul Pratiwiningrum yang gagal kuliah di universitas sebelumnya, namun justru dapat melanjutkan pendidikannya di Program Studi Agrobisnis Fakultas Pertanian UGM pada tahun 2011. Bahkan saat ini, ketika saksi pemohon menempuh studi di UGM, yang bersangkutan juga mendapatkan bantuan beasiswa untuk pembiayaan studinya. Perlu diingat, bahwa walaupun status universitas pada saat itu adalah sama-sama PT-BHMN, sehingga kebijakan yang terjadi di satu universitas tidak dapat dipersamakan akan terjadi di universitas lain. Justru potret memprihatinkan yang disampaikan saksi pemohon dari UNM merupakan implikasi pola penyelenggaraan pendidikan tinggi yang diterapkan di perguruan tinggi tersebut, sehingga meminimalisir inovasi pelayanan penyelenggaraan pendidikan tinggi,” papar Aminoto.
Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., MCL., menegaskan bahwa tidak benar otonomi perguruan tinggi bertentangan dengan UUD 1945. Otonomi bukanlah sebuah kebebasan yang lepas dari satuan kenegaraan. Pelaksanaan urusan rumah tangga otonomi tidak boleh bertentangan dengan peraturan dan kebijakan satuan pemerintahan yang lebih tinggi.
Lebih lanjut dia menerangkan, otonomi melekat pengawasan dari satuan pemerintah yang lebih tinggi. Pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara dapat sewaktu-waktu mengurangi, mencabut, atau menambah urusan rumah tangga yang dilaksanakan melalui mekanisme otonomi. “Memberikan status badan hukum pada perguruan tinggi tertentu merupakan cara mewujudkan otonomi akademik, yang memberikan keleluasaan untuk bertindak sendiri dalam batas-batas yang ditentukan negara atau pemerintah,” katanya.
Badan hukum perguruan tinggi diakui Bagir Manan juga tidak bertentangan dengan UUD 1945. Menurutnya pemerintah memang bertanggung jawab mencerdaskan bangsa melalui menyelenggarakan pendidikan tinggi, tetapi UUD 1945 tidak menentukan tata cara mewujudkan tujuan dan tanggung jawab tersebut, bahkan UUD 1945 tidak melarang upaya mencerdaskan bangsa dilakukan sendiri oleh masyarakat. Oleh karena itu, memberi status badan hukum pada perguruan tinggi tertentu juga tidak akan mengakibatkan negara atau pemerintah tidak lagi bertanggung jawab atas perguruan tinggi yang bersangkutan.
Sementara Dr. Maruarar Siahaan, UU Dikti tidak terdapat di luar constitutional boundary UUD 1945, sehingga menjadi tidak relevan untuk mencabut UU Dikti dengan alasan bertentangan dengan konstitusi. Terlebih bila kemudian yang dipermasalahkan adalah implementasi norma. Maruarar Siahaan mengingatkan bahwa putusan pengujian UU Sisdiknas tidak menghapuskan status badan hukum dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia.
Sedangkan, Prof. Dr. Emil Salim, S.E., M.A., menegaskan pentingnya pembedaan antara rezim pembiayaan dan rezim pembayaran pada penyelenggaraan pendidikan tinggi. Pembiayaan pendidikan tinggi dapat dikatakan menjadi sebuah kewajaran bila mahal, karena semakin tinggi manfaat dari sains dan teknologi, semakin mahal biayanya untuk memperolehnya, sehingga biaya aksesibilitas terhadap ilmu pengetahuan menjadi tidak murah. “Semakin tinggi kualitas ilmu yang ingin dikembangkan, semakin tinggi biayanya,” katanya.
Emil Salim mencontohkan praktik pendidikan tinggi di dunia menunjukkan bahwa universitas, seperti Yale University dan Harvard University, yang notabene berbiaya mahal menjadi sumber dari noble prize di dunia. Namun demikian, pembiayaan yang tinggi tidak membuat mahasiswa harus dibebankan untuk membayar biaya pendidikan yang tinggi pula. “Pembayaran biaya pendidikan oleh mahasiswa dapat digali dari berbagai sumber pembiayaan pendidikan, seperti beasiswa dan kerjasama filantropis,” katanya.
Ia menyimpulkan pembiayaan pendidikan tinggi yang mahal bukanlah sesuatu yang harus dibenturkan dengan pembayaran biaya kuliah yang harus dipikul oleh mahasiswa.
Setelah keterangan para Ahli yang diajukan beberapa perguruan tinggi, Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Dr. Akil Mochtar, S.H., M.H., menutup persidangan dan menyatakan bahwa pemeriksaan untuk Perkara Nomor 33/PUU-XI/2013 dinyatakan telah cukup dan meminta Pemohon, Pemerintah, DPR, dan Pihak Terkait untuk membuat kesimpulan tertulis sebagai bahan bagi hakim dalam Rapat Permusyawaratan Hakim. (Humas UGM/Gusti Grehenson)