YOGYAKARTA – Aflatoksin B1 yang dihasilkan terutama oleh jamur Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus, banyak ditemukan pada jagung dan pakan ternak di Indonesia, padahal toksin ini sangat berbahaya jika termakan ternak maupun manusia, karena dapat menyebabkan kanker hati. Bahkan pada ternak unggas aflatoksin B1 bersifat hepatokarsinogenik, mutagenik, teratogenik dan immunosupresif sehingga pada ternak unggas dapat menurunkan efisiensi pakan dan berdampak pada kerugian ekonomis.
Hal itu dikemukakan Dosen Akademi Peternakan Brahmaputra, Yunianta, setelah dinyatakan lulus dalam ujian tertutup pada Program Pasca sarjana Fakultas Peternakan Gadjah Mada belum lama ini. Penelitian yang yang dilakukan selama 3 tahun dan tertuang dalam Disertasi yang berjudul Upaya Penurunan Tingkat Cemaran dan Toksisitas Aflatoksin B1 pada Jagung Serta Penggunaannya Sebagai Pakan Broiler dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Ali Agus, DAA.DEA. sebagai promotor dan Prof. Dr. Nuryono, MS. serta Prof. Dr. Ir. Zuprizal, DEA. Sebagai ko-promotor. Dengan penguji seorang senior nutritionist dari Pabrik Pakan Ternak PT. Jafa Comfeed Dr. Ir. Ferry Purnama, M.Sc. Juga Pakar Nutrisi dari University Putra Malaysia (UPM) Prof. Dr. Abdul Razak Alimon, serta tim Penguji dari Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
Pria kelahiran Katen, 9 Juni 1962 ini mengatakan jagung yang terkontaminasi Aflatoksin, biasanya ditolak oleh Industri pakan ternak, terlebih akan menutup peluang ekspor. Hal ini telah dapat diatasi dengan penggelolan pasca panen yang baik, terutama pengendalian kadar air selama penyimpanan. “Dengan kadar air 13-15% jagung dapat disimpan lebih dari 4 bulan dan dapat digunakan sebagai pakan ternak unggas yang baik,” katanya
Sedangkan apabila pakan telah tercemar aflatoksin, Industri pakan ternak dan para peternak, tidak perlu kuatir lagi karena pemberian asam amino metionin dapat digunakan sebagai cara penurunan toksisitas aflatoksin yang efektif. Asam amino metionin yang tersedia dalam ransum akan disintesis untuk pembentukan glutathion yang merupakan antioksidan untuk mengikat aflatoksin B1 yang bersifat radikal, “Sehingga aflatoksin dapat diekskresikan dari dalam tubuh bersama urin,” tuturnya.
Selama Penelitian promovendus mendapatkan biaya dari Depdinas melalui program BPPS, Bantuan Penelitian dari Tim Mikotoksin-UGM yang bekerjasama dengan ASEA-UNINET (Austria), Hibah Mahasiwa Program Doktor-UGM serta Program Penelitian Hibah Bersaing (DIKTI) tahun 2008-2009. Yunianta merupakan doktor yang ke 69 dari Program Pasca Sarjana Fakultas Peternakan UGM, beristerikan Dra. Putriana Kristanti, MM. Akt. dan dikaruniai dua putera Rian Yunanto dan Andrian Yunanto. (Humas UGM/Gusti Grehenson)