Sistem pembayaran INA-CBG (Indonesia Case Base Groups) sebagai sistem pembayaran pelayanan kesehatan merupakan pembayaran berdasarkan tariff pengelompokan diagnosis yang mempunyai kedekatan secara klinis dan homogenitas sumber daya yang digunakan. Konsep INA-CBG (dulunya INA-DRG) telah diterapkan selama 5 tahun terakhir di Indonesia. Meskipun sudah melalui beberapa penyermpurnaan masih dijumpai hambatan dalam pelaksanaan INA-CBG ini.
“Masih adanya ketidaksesuaian antara tarif INA-CBG dengan biaya pelayanan kesehatan rumah sakit yang bersangkutan,”papar Diah Indriani pada ujian terbuka Program Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM, Sabtu (6/7).
Pada ujian itu Diah Indriani mempertahankan disertasinya yang berjudul Sistem Pendukung Keputusan Klinis Dalam Pelaksanaan INA-CBG di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (Model Penerimaan Teknologi Oleh Klinisi).
RSUP Dr. Sardjito merupakan salah satu rumah sakit yang telah menerapkan konsep DRG sebagai model untuk menentukan sistem pembayaran pelayanan kesehatan. Di RSUP Dr. Sardjito juga dijumpai adanya ketidaksesuain tarif INA-CBG dengan tarif pelayanan kesehatan atau terjadi selisih antara biaya total pelayanan kesehatan dengan tarif INA-CBG.
Diah menjelaskan dari hasil Focus Groups Disscussion (FGD) menunjukkan bahwa kedisiplinan dokter dalam mengisi rekam medis masih kurang terutama pengisian pada kolom diagnosis penyerta, tindakan dan nutrisi. Hal ini merupakan indikasi terjadi ketidaksesuaian proses pengelompokan CBG sehingga menimbulkan gap. Rata-rata gap pada diagnosis ALL menunjukkan RSUP Dr. Sardjito pada posisi dirugikan.
“Ini indikasi kurang tepatnya proses klasifikasi pengelompokan CBG, yang kemungkinan besar disebabkan ketidakdisplinan dokter dalam mengisi diagnosis pendukung,”kata dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga ini.
Hasil pemodelan gap yang dilakukan Diah juga menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan mempengaruhi gap pada kelompok INA-CBG kemoterapi ringan adalah biaya akomodasi, pada kelompok kemoterapi sedang dan berat adalah biaya obat/barang medis. Variabel lain yang dominan mempengaruhi gap adalah biaya akomodasi, biaya obat/barang medis, biaya pelayanan patologi klinik, biaya pelayanan diagnostic elektromedik dan biaya pelayanan transfuse darah.
“Untuk pelayanan kesehatan pasien pada kemoterapi sedang dan berat memang mempunyai kecenderungan untuk menghasilkan pelayanan kesehatan dengan gap tinggi,”tegas Diah.
Dari hasil penelitian yang dilakukan itu Diah Indriani menilai format rekam medis yang lebih efisien/sederhana akan sangat membantu klinisi untuk melengkapi pengisian rekam medis. Kelengkapan rekam medis sangat berhubungan dengan kesesuaian pengelompokan INA-CBG, sehingga proses estimasi biaya pelayanan kesehatan menjadi lebih baik.
Selain itu perencanaan pelayanan kesehatan dalam konsep Medical Care Planning dapat dimasukan dalam Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS), sehingga biaya pelayanan kesehatan dapat diprediksi untuk proses perencanaan pembiayaan pelayanan kesehatan (Humas UGM/Satria AN)